SAHABAT (2)
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Sejak tahun 2004, kami berdelapan mulai bersahabat. Dekat. Nyaris tiap hari bertemu karena sama-sama menunggu anak kami di satu Sekolah Dasar. Mengaji bareng, belajar keputrian bersama, sampai akhirnya kami membuat yayasan yang bergerak di pembiayaan anak asuh. Yayasan Cahaya Hati. Kami mendata anak-anak berpotensi dari keluarga kurang mampu, lalu menghubungkan pada donatur perorangan maupun atas nama perusahaan. Menyalurkan bantuan bersama dan menyampaikan laporan pada publik secara berkala. Kami seperti saudara. Akrab.
Suatu hari di tahun 2009, entah karena kabar apa dari siapa, tiba-tiba saja terjadi salah paham. Tak ada kesempatan tabayyun. Tak ada penjelasan apapun. Saya sedih, sangat.
Tapi suami saya ngendikan, mundur saja dulu, Um. Saya manut. Membiarkan semua prasangka berkembang liar. Menerima kenyataan hubungan kami merenggang pelahan, lalu benar-benar tak saling memberi kabar.
Kadang terasa nyeri, ingin menerangkan tapi tak kuasa. Ingin mendapat alasan mengapa, tapi tak bisa.
::
“Tidak semua hal bisa kita jelaskan. Apalagi sekedar dengan kata-kata. Terkadang diam menjadi satu-satunya jawaban bahkan untuk puluhan pertanyaan.”
Ngendikan suami saya, menjadi hiburan. Benar. Sangat benar. Tabayyun penting, tapi jika belum bisa, sebaiknya sabar. Sebab penundaan dari sebuah pengharapan adalah ujian. Tak ada cara lain untuk menghadapinya selain dengan bersabar.
Semua mengalir. Waktu bergulir. Dengan ringan saya mengaku salah. Mengaku kalah.
Sebelas tahun kemudian, tepatnya bulan Juni 2020 lalu. Untuk pertama kalinya kami bertemu. Ada rindu, bercampur ragu. Kami makan bersama, lalu ngobrol apa saja.
Sampailah pada kesempatan saya bertabayyun. Perasaan yang tertimbun selama sebelas tahun, mulai terurai. Mungkin karena saking lamanya, tak ada lagi kesedihan menyertai. Hanya ada haru, membuncah.
Saya menata kata, memilih kalimat. Agar upaya mengikat kembali hati, tak sampai melukai. Cukup sudah kami berpisah dalam seratus tiga puluh dua purnama.
Selesai. Saya melepas isak. Lega rasanya. Bergantian teman-teman mengungkap isi hati. Semua mendapat kesempatan yang sama. Ada yang kaget setelah paham masalah, ada yang langsung paham runutan kejadian.
Disela tangis, ada rasa sayang dalam tiap kalam yang mereka ucap. Saya bisa menangkapnya dengan jelas. Memang terlintas sedikit getun, tapi rasa cinta kembali menggunung.
Saling meminta maaf. Melarung kesal. Membuang sesal. Saling memaafkan, lagi.
Sungguh, bersyukur kami bisa saling tabayyun sebelum terlambat. Kami sudah tua, usia kami telah senja. Beruntung kami bisa memaafkan sebelum salah satu diantara kami dipanggilNYA berpulang.
::
Sebelas tahun. Waktu yang sangat panjang untuk menanti sebuah kebenaran. Sebelas tahun. Masa yang sangat panjang untuk menyampaikan penjelasan.
Ah. Mata saya basah ketika menulis ini. Betapa benar bahwa menjaga perasaan liyan itu sangat utama. Dan itu, dimulai dari menahan lisan, menjaga tulisan.
Siapapun mungkin pernah silap dan khilaf, siapapun. Tapi jika itu terjadi, ada pilihan yang bisa kita ambil: tabayyun atau bersabar. Dan saya, memilih yang kedua. Bersabar. Sebelum akhirnya sampai pada kesempatan tabayyun.
Meski harus melewati waktu sebelas tahun.
Terima kasih sahabat Cahaya Hati. Semoga tak ada drama lagi. Semoga kita tetap bersahabat, hingga di surga nanti.
- Bandar Lampung, 26 Oktober 2020 –
📷 Pertemuan pertama kami setelah 132 purnama tak jumpa. Berdelapan, lengkap 💖