Artikel

SYAHID LANTARAN RINDU, HAH?!

0

Oleh: Ustd. Siti Zubaidah, S.Pd.*

Rindu. Kata yang sangat sederhana dan mudah  diucapkan. Akan tetapi, sulit untuk diaktualisasikan. Setiap orang pasti merasakan yang namanya rindu. Rasa yang menyatu dalam kalbu setiap insan, penyebab kedilemaan yang berujung ketidakbiasaan. Rasa ini biasanya terjadi pada orang yang memiliki ikatan, seperti para pujangga dan sang kekasih, anak dan orangtua, murid dan guru, umat dan Baginda Rasulullah SAW dan seorang hamba kepada Allah Azza Wajallah.

Banyak seniman dan para perindu mengalami gejolak kerinduan yang berkecamuk di dalam jiwa dan hatinya. Hal itu terealisasikan dalam bait-bait syair yang mewakili perasaan mereka. Sering kita menjumpai syair-syair kemesraan para perindu yang mengungkapkan sebuah kerinduan untuk mengingat sosok suri tauladan, yakni Baginda Rasul Muhammad Saw. Salah satunya ialah seseorang yang dikenal sebagai sastrawan sekaligus sufi, sosok yang menekuni ilmu sastra arab dan menghafal Alquran di Cairo. Siapakah beliau???

Sebutlah namanya Imam Al-Bushiri, beliau adalah seorang yang tegas dan cerdas dalam menulis bait-bait syair yang indah dan baik.  Imam Basam Muhammad Barut mengakui tentang kemahiran Al-Bushiri dalam menulis sastra arab. Al-Bushiri tidak hanya piawai dalam merangkai kata yang indah, tetapi beliau juga mahir menyusun bait-bait cinta teruntuk Sang Baginda Nabi. Kerinduan beliau menggebu dan tidak dapat lagi dibendung dalam jiwa. Semakin hari kian menjadi-jadi kerinduannya pada Rasulullah. Oleh sebab itu, Al-Bushiri meluapkan rasa rindunya kepada sang kekasih melalui syair-syair syahdu nan indah dalam sebuah karya Qasidah Burdah”.

Amin tadzakkuri jiiraanin  bidzi  salami  *  Mazajta dam’an jaray min muqlatin bidami

Imam Al-Bushiri menulis syair ini sebagai pembuka dalam bait Qosidah Burdah. Syair pembuka ini adalah syair tentang beradu pandang dalam hayalan. Mengungkapkan keadaan insan yang sedang dimabukkan cinta, menderita karena asmara, dan menahan sakit disebabkan rindu tiada tara. Dalam bait ini, beliau menggambarkan rasa cinta dan rindu kepada Baginda Rasulullah serta para sahabatnya melalui syair. Rasa rindu yang setiap kali bertambah, tetapi sulit untuk berkurang. Apabila menangis yang keluar adalah darah dari saking nyeseknya.

Begitulah kedahsyatan sebuah rindu, seorang penyair berkata, “tak ada yang bisa mengenal rasa rindu kecuali mereka yang menderita karena cinta. Tak ada yang bisa tahu luapan cinta kecuali mereka yang merasakan sendiri”. Inilah ciri khas para perindu terdahulu. Mereka terbiasa meluahkan rindu pada sebuah syair untuk mewakili perasaannya. Begitu pula para pecinta sholawat, mereka sering mengungkap kerinduannya kepada nabi dan kekasihnya melalui syair. Banyak sekali ungkapan-ungkapan yang mereka gunakan untuk memaknai sebuah kerinduan. Sungguh indah sekali!

Sayangnya, dewasa ini banyak anak muda zaman now yang menyalah artikan makna kerinduan. Mereka meyakini sebuah kerinduan akan terobati jika terjadi sebuah pertemuan. Pertemuan yang terkadang lebih mendatangkan mudharat daripada manfaat. Seyogyanya, sang perindu benar-benar menjaga dan berusaha menyembunyikan perasaan tersebut dari pengetahuan orang lain agar terjaga dari perilaku maksiat dan menjadi ladang pahala baginya bahkan terbilang syahid.

Hah, syahid? Subhanallah, kerinduan yang seperti apakah itu? Sepertinya bukan hanya kerinduan biasa. Khoirul Anwar, seorang blogger mengutip tulisan Abî Bakr ‘Utsmân bin Muhammad Syaththâ yang tertuang dalam kitab Hâsyiyah I’ânah Ath-Thâlibîn tentang mati syahid. Dalam keterangan tersebut, seseorang yang mampu pertahankan dan menyimpan sendiri kerinduannya hingga ajal menjemput maka ia mati dalam keadaan syahid. Namun, perlu dipahami ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kerinduan tersebut berujung kesyahidan, yakni tidak ada sedikitpun noda kemaksiatan di dalamnya. Rindu tersebut benar-benar karena Allah Swt.

Hal ini menjadi sebuah pelajaran bahwa sebuah kerinduan adalah bentuk pemaknaan hati yang timbul dari perasaan cinta dan kasih. Oleh karena itu, patutlah kita bersyukur karena masih diberikan kesempatan untuk merasakan betapa rindu itu adalah sebuah nikmat yang tak semua orang bisa merasakannya. Semoga kita menjadi salah satu perindu yang benar-benar mengerti hakikat makna kerinduan.  

*) Penulis adalah Santri Aktif YPP Miftahul Ulum sekaligus Guru di lembaga Madrasah Diniyah dan Guru MI Miftahul Ulum

Benarkah Matematika Ajarkan Nilai Agama?

Previous article

PUNCAK HENING MALAM

Next article

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Artikel