
TOGA
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Seharusnya, dua kali saya ikut wisuda. Tapi karena sebab yang berbeda, saya tak pernah bisa mengenakan toga: baju ‘kebesaran’ yang katanya sakral saat seseorang mengikuti prosesi di akhir masa studi.
Pertama, ketika saya lulus S1 Bahasa Arab UIN Malang (dulu IAIN), Abah melarang saya ikut wisuda dengan kalimat yang alus tapi terasa jedher di hati saya.
“Harus nggih, Nduk, ikut wisuda ke Surabaya?”
“Ngapunten Abah, dalem ingin ndamel toga. Dan saat wisuda ijazah akan diserahkan langsung mangke”.
“Toga dan ijazah itu hanya bukti kalau njenengan pernah kuliah, Nduk. Kualitas njenengan yang sebenarnya bisa ditunjukkan dengan akhlak yang baik”.
Saya ndlongop terkesima, lalu menunduk prembik-prembik nahan air mata. Sedih, juwengkel…tapi mana berani membantah Abah. Entah apa alasan pastinya, bisa jadi Abah khawatir saya mampir ke mana-mana kalau jadi ke Surabaya. Bertemu teman, main atau mblakrak ke delapan penjuru mata angin. Ya, memang, saya sudah punya rencana busuk itu sih. Perempuan pingitan seperti saya, dapat kesempatan melihat jalan raya, ya pasti mbedhal.?
Sebulan kemudian, Taman Pendidikan Quran tempat saya mengajar mengadakan acara Haflah Akhiris Sanah, ditutup wisuda dengan anak-anak mengenakan toga!
Saya iri, juga cemburu. Anak lima tahun sudah tahu rasanya toga, tanpa harus membuat skripsi. Duh, alangkah gagahnya. Gemes, tapi juga kesel.
*Tuh kan, kita ini sangat gampang cemburu untuk hal yang kita belum mampu. Dan saking tidak masuk akalnya cemburu ini, bahkan anak usia lima tahun pun saya jadikan saingan, saya jadikan ancaman. Jian, gaswat. ?
Sekian tahun kemudian. Beberapa bulan sebelum saya belajar di program S2, saya mengalami kecelakaan. Gegar otak. Sejak saat itu, dan hingga kini saya tak bisa sendirian keluar rumah. Apalagi jika berada dalam keramaian. Saya pasti pusing, bingung dan kesasar. Kalau di tengah banyak orang yang sedang duduk diam, saya nggliyeng dan bisa pingsan. Apalagi jika jumlahnya ratusan.
Nah, makanya jika saya sedang ngisi materi seminar atau pelatihan, saya memilih berdiri dan sesekali berjalan muter ruangan. Agar terus bergerak. Agar darah di otak terus mengalir… haha.
Jadi, andai disertasi saya selesai beberapa bulan nanti, sangat mungkin saya tak ikut baris di deretan sarjana S3. Sulit buat saya ikut prosesi wisuda. Apalagi di usia senja.
Tapi, eits. Ternyata mengenakan toga tak harus saat wisuda ding. Kemarin, pada acara rapat luar biasa senat perguruan tinggi Al Madani, saya mengenakannya. Yei.
Bajunya longgar, nyaman. Topi kotaknya pas, ringan. Talinya… Nah, ini yang paling saya suka. Tali dengan rumbai ini terus bergoyang, membuat saya betah duduk tanpa harus mengetukkan jari, menyobek tisue atau menggosok dua telapak tangan.
Sepanjang prosesi, diam-diam saya sering melirik tali ini. Sesekali menggoyangkannya pelan, saat saya duga tali ini menjelang berhenti. ?
Ahaha norak banget ya. Tapi, asli, untuk orang kinestetik yang pernah mengalami benturan kepala seperti saya, tali ini sangat bermanfaat. Di samping juga bajunya yang menurut saya keren banget. “Umy tak henti tersenyum selama di panggung,” kata seseorang usai acara.
Ah, bahagia itu sederhana ya. Saat kita menikmati apa yang kita punya dan kenakan, ketika kita mensyukuri apa yang telah kita genggam… Wuah, mewah sangat. Tentu saja, dengan menghindari merasa terancam oleh apapun dan siapapun ya.
Hm. Sebelum saya menulis ini, saya membaca referensi tentang toga. Mulai filosofi, sejarah hingga fungsinya. Baju kebesaran lengkap yang ‘disakralkan’. Membuat bangga siapapun yang mengenakannya, terutama saya.
Lalu, saya teringat ngendikan Abah dulu. Ya, kualitas kita ditentukan akhlak kita. Tiba-tiba saja saya merasa malu. Andai akhlak dan amal saya dirupakan pakaian, alangkah compang campingnya baju yang saya kenakan. Ah, Abah. Betapa banyak ngendikan panjenengan yang baru saya pahami setelah njenengan tiada, Abah. ?
Lalu, siapa saya, dan di mana tempat saya di hadapan ngendikan Rasulullah SAW ini?
“Sungguh jika di antara kalian telah wafat, diperlihatkan padanya tempatnya kelak setiap pagi dan sore. Jika ia penduduk surga maka diperlihatkan bahwa ia penduduk surga, jika ia penduduk neraka maka diperlihatkan bahwa ia penduduk neraka, dan dikatakan padanya: inilah tempatmu. Demikian hingga kau dibangkitkan Allah di hari kiamat”.(Qs. Al-Bukhārī)
Semoga tempat Abah, Umy dan semua guru saya adalah surga. Semoga dengan kasih sayang Allah, pakaian yang saya dapatkan di surga melebihi indahnya toga.
- Bataranila, 23.09.2019
- Evi Ghozaly