Oleh: Ahmad Wadud al-Umam *
Sebagaimana kita ketahui, ilmu pengetahuan sangatlah penting bagi manusia. Demikian juga bagi kita yang tengah menempuh jalan طلب العلم. Dengan status tersebut, secara tersirat, kita didorong untuk tidak hanya melaksanakan kegiatan “mencari”, melainkan juga “dituntut” untuk menggapai apa yang tengah kita cari. Bukankah akan lebih pantas bila apa yang tengah kita cari dapat kita temukan atau gapai?
Sebagian ulama mengartikan kata “طلب” dalam frase “طلب العلم” dengan makna “menuntut”. Mereka tidak mengartikannya dengan makna murni dari lafadziyah طلب, yakni “mencari”. Mengapa demikian?
Dengan mengenakan makna “menuntut” pada lafadz طلب mengharuskan kita untuk mendatangkan apa yang telah kita tuntut, yakni ilmu. Berbeda halnya dengan menempatkan makna “mencari” dalam lafadz طلب. Makna “mencari” tidak mengharuskan kita memperoleh apa yang kita cari. Kata “mencari” hanya mewajibkan terjadinya kegiatan dari “mencari” tersebut. Itulah mengapa bagi kita, para santri yang menyandang status “طلب العلم” akan sangat tepat bila tidak hanya sekedar melaksanakan kegiatan “mencari”, tetapi lebih jauh “menuntut” ilmu. Hal ini penting, mengingat kata “menuntut” akan memotivasi kita untuk berlaku maksimal guna meraih ilmu.
Pada gilirannya, dengan memiliki ilmu kita dapat termudahkan dalam berbagai urusan, baik keduniawian maupun keakhiratan. Dengan ilmu pula, kita dapat menggapai tujuan-tujuan pokok kehidupan. Pokok-pokok tersebut antara lain, yakni bahagia dalam kehidupan dunia, kehidupan akhirat, dan bahkan bahagia dalam kehidupan keduanya sekaligus.
Pentingnya ilmu dalam pencapaian tujuan hidup bahagia tersebut ditegaskan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya: “من أراد الدنيا فعليه بالعلم ومن أراد الآخرة فعليه بالعلم ومن أراد هما فعليه بالعلم” yang artinya, “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat maka wajib baginya memiliki ilmu, serta barangsiapa menghendaki kehidupan keduanya maka wajib pula baginya memiliki ilmu”.
Hadits tersebut telah sangat jelas menekankan pentingnya ilmu bagi kebahagian hidup kita di dunia dan akhirar. Hal inilah yang seyogyanya dihayati betul oleh kita, para santri, dalam menuntut ilmu. Spirit hadits ini penting dipahami, terlebih di era kini kita dapati masih banyak kalangan yang cenderung berfokus mencari ilmu dengan tujuan untuk dapat menggapai kepentingan duniawi saja. Mereka beralasan bahwa telah cukup mengikuti ajaran Rasulullah SAW dengan hanya memilih penggalan من أراد الدنيا فعليه بالعلم dari matan hadits tersebut. Mereka beranggapan bahwa konteks hadits Rasulullah SAW itu mengandung seruan الاختيار (pilihan). Jadi, mereka tidak merasa salah bila hanya memilih satu dari tiga pilihan hidup bahagia. Mereka merasa telah menempuh jalan yang tepat dan tidak menyalahi sunnah Rasulullah saw.
Dari sekian apa yang telah mereka utarakan, kami hanya sependapat dengan pemikiran mereka yang berisikan bahwa hadits Rasulullah SAW tersebut mengandung الاختيار (pilihan) di dalamnya. Menurut kami, maksud dari hadits Rasulullah SAW tersebut ialah bahwa ilmu itu sangatlah penting, apa pun tujuan yang dipilihnya. Cukup memilih sukses hidup di dunia saja, sukses bahagia hanya di akhirat, atau bahkan ingin sukses bahagia di keduanya.
Bagi kami, hadits Rasulullah SAW tersebut memang mengandung seruan “pilihan” dan dengan demikian kami tidak menafikan anggapan bahwa memilih satu dari tiga pilihan tersebut itu dibenarkan. Anggapan tersebut dalam batas-batas tertentu sejalan dengan tuntutan hadits tersebut. Akan tetapi, yang perlu kami tekankan di sini ialah sangat tidak dibenarkan bila kita fokus pada satu pilihan sehingga melupakan pilihan yang lain.
Kenapa begitu? Karena ketiga pilihan tersebut saling berhubungan (ta’alluq), integral tidak terpisahkan. Satu pilihan sepatutnya tidak meniadakan pilihan yang lain. Sebab, ketiganya sama-sama penting. Lalu, bagaimana mungkin dibenarkan bila kita hanya memilih sukses hidup di dunia saja sehingga melupakan sukses hidup di akhirat, sedangkan kehidupan dunia dan akhirat sangatlah berhubungan? Bukankah tujuan utama kita hidup di dunia adalah untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan abadi di akhirat?
Haruslah dipahami bahwa tujuan utama kehidupan di dunia adalah mempersiapkan bekal diri menuju kehidupan di akhirat. Sementara itu, tujuan kehidupan di akhirat ialah menemukan kesejatian diri kita di hadapan Allah swt. Tujuan ukhrawi tersebut tidak akan terpenuhi tanpa tercapainya kesuksesan hidup di dunia, yakni membekali diri dengan sebaik-baiknya bekal (taqwa). Dengan kata lain, bila kita memilih kehidupan di dunia, secara tak langsung, berarti kita memilih kehidupan di akhirat pula. Apakah kita telah mempersiapkan diri?
Oleh karena itu, sangatlah tidak patut bila kita hanya mencari ilmu untuk meraih sesuatu yang tidak pantas kita sebut “hasil” dan lebih tepatnya kita sebut “proses”. Kehidupan di dunia itu merupakan “proses” menuju “hasil”, yaitu kehidupan di akhirat. Kehidupan di akhirat merupakan hasil akhir dari semua proses hidup kita di dunia.
Di samping perlu kita ketahui tentang pentingnya ilmu, kita pun perlu mengetahui betapa bahayanya menjadi orang yang tidak berilmu. Allah SWT sangat mencintai hamba-hamba-Nya yang memiliki ilmu dan sangat membenci hingga melaknat hamba-Nya yang tidak memiliki ilmu serta tidak mempunyai kemauan untuk menuntul ilmu. Dengan tidak dimilikinya suatu ilmu, tentu kita tidak akan dapat menggapai apa pun, bahkan dapat menyesatkan kita dan orang lain dari kebenaran. Hal ini termaktub di dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi:
“الدنيا ملعونة، ملعون ما فيها، الا ذكر الله وعالم ومتعلم”
Artinya: “Dunia itu dilaknat, sesuatu yang berada di dalamnya (di dalam dunia) pun juga dilaknat, kecuali dzikir kepada Allah SWT dan orang yang mengetahui (orang yang memiliki ilmu) serta orang yang belajar”. Hadits termuat dalam kitab رسالة المذاكرة pada subbab فصل: في التحذير من الجهل, halaman 31.
Dari kedua hadits Rasulullah SAW di atas dapat kita simpulkan bahwa ilmu itu sangatlah penting bagi kita dan berpengaruh besar di dalam kehidupan kita, baik di dunia maupun di akhirat. Dari kedua hadits tersebut juga kita bisa mengetahui betapa bahayanya kebodohan. Berbahaya tidak hanya bagj kita sendri, tapi juga bagi orang lain. Kebodohan bahkan dapat menggagalkan pencapaian tujuan pokok kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.
*) Penulis adalah Alumnus MI Miftahul Ulum Angkatan 2013 dan sekarang tengah nyantri di Madrasah Mu’allimin Mu’allimat PP Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang.
Comments