ANGKA KASIH SAYANG
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Suatu hari, di tahun 2006. Saat pertama saya menjadi konsultan di sebuah sekolah swasta yang sebagian muridnya special need, Anak Berkebutuhan Khusus. Seorang ibu dan putri cantiknya memasuki ruangan saya.
“Aku pernah terinfeksi virus miningitis. Jadi, otakku tidak kuat mengikuti pelajaran. Nilaiku selalu rendah. Aku bodoh. Makanya, aku selalu dibully teman-teman. Aku juga berkali-kali tidak naik kelas. Teman sepantaranku, sudah kelas 2 SMP, aku masih akan kelas 5 SD. Aku ingin sekolah di sini. Sekolah ini menerima anak bodoh, lemah dan sakit-sakitan seperti aku kan?”, terbata dia mengutarakan maksudnya.
Aku tersenyum. Rasa haru membuatku agak kesulitan menguatkan hati. Kuambil kedua tangan kecilnya. Kugenggam erat, agar reda gemetarnya. Sambil kutatap lembut kedua matanya yang berlinang, aku mencoba meyakinkan, “Selamat datang di sekolah penuh cinta ini, sayang. Kami bahagia menerimamu. Semua murid di sini istimewa, dengan segala keunikannya. Kami berjanji akan mendampingimu tumbuh dan berkembang dengan baik. Kami berjanji akan menghargai setiap usahamu. Kami akan selalu mendoakanmu dan terus memberi semangat agar cita-citamu tercapai, sayang”.
“Aku ingin menjadi guru TK, Umy,” matanya mulai berbinar. Aku menarik nafas lega.
Ah, betapa banyak bintang kecil yang dicipta Tuhan dengan sinar indah seperti ini. Lalu, kita meredupkannya dengan bullying. Kita bangga jika murid kita kesulitan menjawab soal yang kita buat. Kita bahkan memadamkannya dengan label bodoh dan nilai super kecil di rapotnya hanya agar kita terlihat lebih pintar dan gagah. Kita tak sadar telah menyemai luka di hatinya, hanya dengan alasan ketentuan penilaian demikian. Kita telah mematahkan harapannya, hanya karena alasan sistem evaluasi kita yang memang menyaring begitu, anak tak berpotensi akan minggir. Duh, betapa angkuhnya!
::
Sejak saat itu, saya bertekad kembali mempelajari sistem evaluasi pendidikan. Materi seminar dan pelatihan saya yang biasanya tentang paradigma, konsep pendidikan, strategi pembelajaran, beralih sementara pada materi lebih detail. Saya kembali belajar tentang penilaian otentik. Bahwa setiap anak berhak mendapat soal yang berbeda dengan tanpa mengubah standar kompetensi. Bahwa dalam kondisi tertentu, satu dua anak bisa menjalani teknik penilaian yang berbeda dengan teman sekelasnya, asalkan kompetensi dasarnya sama. Standar akhir bisa dibuat baku, tapi cara menempuhnya bisa disesuaikan dengan kebutuhan. Bukan hanya melalui tes tulis atau tes lisan saja, tapi bisa portopholio, sikap perilaku, keterampilan atau bermacam produk. Yang penting, terukur dan membuat anak menjadi lebih baik, bukan sebaliknya menjadi putus asa.
“Semua teknik penilaian telah kami laksanakan dengan format yang ada, hasilnya tetap, nilai ananda di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal, Um. Nilai tiap mata pelajaran satu, dua, paling tinggi tiga, bahkan ada yang nol. Dia juga sering absen karena sakit,” wali kelas melapor.
“Absen karena sakit. Tak bisa menjawab pertanyaan karena keterbatasan fisik dan psychis. Tapi, kalau kita berikan nilai sekecil itu, saya khawatir dia makin terpuruk. Putus asa, dan tak lagi mau belajar. Cita-citanya mulia, saya yakin suatu saat dia akan sukses. Ayo kita buat soal lagi, yang lebih mudah sesuai kemampuannya, tanpa mengubah aturan. Lalu kita tambahkan nilai untuk semangatnya, ibadahnya, dan kesantunannya, dengan alat ukur yang bisa dipertanggungjawabkan. Kita ambil aspek afektif dan psychomotornya, bukan semata kognitifnya. Kita tambahkan nilai cinta. Angka kasih sayang. Semoga ikhtiar kita bermanfaat buat hidupnya”.
Setelah itu saya lapor ke Dinas Pendidikan setempat, memohon ijin untuk tidak menggunakan soal kiriman. Ahamdulillah, sepakat. Selanjutnya, ini berlaku untuk anak-anak unik yang lain. Ya, mendidik dengan cinta memang tak boleh hanya sebatas wacana. Yang terpenting justru menerima setiap anak dengan apa pun kondisinya, lalu mendampingi agar potensinya berkembang dan terus membuatnya memiliki harapan.
“Um, aku diterima di perguruan tinggi negri. Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini. Cita-citaku menjadi guru TK akan tercapai. Terima kasih ya, Umy”, dua tahun lalu si cantik itu memelukku. Setelah dia melanjutkan SMP dan SMA di sekolah yang kami kelola sejak 2010, sekolah yang sangat ramah dan menghargai setiap anak. Sekolah dengan guru-guru sabar yang penuh cinta. Akhirnya dia lulus dan bisa kuliah sesuai harapannya. Apa yang lebih membahagiakan dari ini? Menjadi wasilah untuk sebuah mata penuh binar dan hati berlimpah harapan?
::
Hm. Saya masih boleh bercerita kan?
Kemarin sore sulung kami tilpon, sambil menangis terisak dia minta maaf, “Mohon maaf Um, dalem tidak naik kelas. Jadi tetap kelas II Wustho”.
Tiga puluh menit berikutnya dia bercerita panjang. Tentang bagaimana dia berjuang membagi waktu agar semua rencana dan harapan terwujud. Tentang jadwal kuliah yang rapet, tugas yang banyak, kegiatan organisasi, mengaji dan sekolah madrasah diniyah di pondok pesantrennya.
Pernah dia sangat bersedih karena tak kunjung faham Bahasa Jawa alus sebagai dasar memahami Kitab Kuning yang memang disampaikan ustadz dengan kromo. Alhamdulillah, Yai dan Bunyai memberi solusi, “Anak-anak nambah belajar pegon dan semua pelajaran aja ya, Dik. Kami pilihkan dua guru terbaik nanti”.
Sungguh privat sangat membantu. Dia kembali bersemangat.
Namun, kini, dia harus lungkrah, “Tidak naik kelas karena jumlah absen dan nilai, Um. Lama pulang ke Lampung, sudah matur Yai tapi lupa ijin guru. Terus, nilai Nahwu nol. Benar-benar nol, Um”. Saya menghela nafas panjang, tak berniat memotong curhatnya.
“Um, dalem sudah berusaha. Masak tak ada apresiasi? Duduk menyimak pelajaran, merangkum semua penjelasan, mengikuti ujian. Ikut ngesahi kitab meski sering menggunakan bahasa Indonesia. Masak tidak dianggap sama sekali? Semua ikhtiar dalem harganya nol, Um. Bukankah Allah menghargai ikhtiar, Um?”, kembali dia terisak. Saya tetap terdiam.
::
Sekian menit saya hanya bisa terdiam. Lalu pelahan menenangkan. Menenangkan diri sendiri dan juga buah hati. Saya tahu, dia ingin lulus kuliah bersamaan dengan wisuda Wustho-nya. Dia ingin merangkai harapan lain setelah semua ikhtiarnya di Malang selesai tahun depan.
Tapi itu rencana kan, Nak? Ada taqdir. Ada hal lain yang perlu diperjuangkan: kesempatan berdoa dan juga ridlo guru. Ada konsep keberkahan, yang sulit dijelaskan, tapi sangat bisa dirasakan. Yang semua itu bisa kita dapatkan jika kita tidak melukai liyan, terlebih orang yang kita muliakan.
“Bolehkah dalem bertanya pada Ustadz mengapa sampai harus mendapat nilai nol itu, Um?”.
Tak semua hal bisa ditanyakan, Nak. Tak semua pertanyaan harus mendapatkan jawaban. Bagi seorang murid atau santri, ridlo guru sangat penting. Dan jika telah mendapat ridlo guru, nilai dan angka menjadi nomer dua. Jika telah mendapat ridlo guru, keberkahan akan mengikuti. InsyaAllah.
Hening. Sejenak.
“Hei, masih puasa kan, Mas. Yuk, ajak adik menyiapkan makanan untuk berbuka ya”. Dia tertawa kecil, suwuk, salam, lalu klik. Hape mati.
::
Kok saya tidak konsisten melihat konsep nilai? Iya, cerita pertama, saya sebagai guru dan konsultan pendidikan harus berupaya mendidik dengan cinta. Profesional, tanpa mengesampingkan angka kasih sayang. Cerita kedua, saya sebagai santri yang harus mengejar keberkahan. Target pribadi harus diletakkan di bawah ridlo guru. Bismillah mpun. Mugi ridlo guru jadi lantaran turunnya ridlo Gusti Allah.
Duh, mulia banget penutup tulisan saya ini. Padahal saya belum tentu bisa menjalankannya dengan baik. Jadi, mohon maaf ya. Dan eh, setelah menulis ini, saya akan mengajak rapat online semua pondok pesantren yang saya dampingi. Agenda rapat: evaluasi pembelajaran!
🙏😊🙏
.
- Bandar Lampung, 15 April 2020 –
Terharu ning…
Sangat menginspirasi ..di sisa2 masa pengabdian ini saya lebih condong ke permata2 yang belum diasah..betapa sistem sangat tak bersahabat pada mereka