BERBAKTI PADA ORANGTUA YANG TELAH TIADA
5 mins read

BERBAKTI PADA ORANGTUA YANG TELAH TIADA

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Pernahkah engkau merasakan kangen tiada tara pada orangtuamu yang telah tiada?

Saya pernah. Sering, banget. Dua hari ini bahkan rasa kangen itu muncul dengan kerapnya. Tiba-tiba, di waktu yang tak terduga. Menendang hati, memukul dada, hingga sering membuat saya menangis.

Wajah Abah dan Umy seakan menempel di depan mata saya. Terus, terus. Saya bacakan fatihah, yasin, tahlil… dan apapun yang saya bisa. Slide demi slide kenangan masa lalu bergantian hadir di hadapan saya.

Saat Umy memangku saya sambil mengajar ngaji ibu-ibu. Ketika saya membenci Abah diam-diam karena dipaksa sekolah ke sini dan mondok ke situ. Waktu saya menangis dalam pelukan Umy, berlindung dari kemarahan Abah karena saya ketahuan sering meninggalkan sekolah demi organisasi. Ketika Umy membagi nasi berkat dalam besek kecil menjadi delapan, dan kami anteng menunggu, menerima bagian yang hanya sepuluk dua suap nasi dengan lauk remahan.

“Nanti kalau besar, tetap rukun begini ya. Jangan sampai berantem. Apalagi rebutan warisan. Karena kami hanya meninggalkan ilmu untuk kalian. Tanah sepetak itu, untuk ngaji ya, Nak. Yang bisa, buat tempat ngaji,” ngendikan Umy tenang. Pesan yang kami hafal hingga di luar kepala.

Ah, air mata ini tumpah lagi. Kangen tak kunjung sudah. Rasa bersalah akan kenakalan dan kenekadan. Hutang budi yang belum secuil pun terbalas.

::

Bagaimana cara berbakti pada orangtua yang telah tiada?

Abah pernah mengajarkan agar kami,

-. terus beristighfar untuk kedua orangtua. Astaghfirullah li Aby wa Ummy.

-. Kemudian, berdoa segala yang baik untuk beliau berdoa.

-. Melunasi semua hutang orangtua.

-. Menuntaskan nadzar dan wasiat beliau.

-. Menghubungkan tali silaturrahim orangtua serta berbuat baik pada teman dan kerabat beliau.

-. Dan bersedekah atas nama kedua orangtua.

Belakangan saya tahu kalau hadist tentang enam poin ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As Sa’idi.

Itu juga yang selalu saya ingatkan pada kedua anak saya.

“Nak, kami sudah sangat bahagia mendapat amanah dan anugerah kalian berdua. Kami tak minta apa-apa selain, kelak, tuntun kami ke jalanNYA. Doakan agar kami dan kita semua selamat di dunia dan akhirat”.

Saya tak bisa membayangkan, bagaimana jika anak saya tak kenal tahlil, tak mau baca yasin, tidak berkenan membaca fatihah dan doa untuk kami, atau tak sudi ziarah kubur kami kelak. Duh… ?

::

Dan baru saja saya menemukan status efbi saya empat tahun lalu. Apa yang saya alami hari ini dan kemarin sama. Status tahun sebelum dan sesudahnya pun, mirip. Ingin menangis tanpa alasan yang jelas. Setiap tahun, tiap menjelang khaul Abah dan Umy, selalu begitu. Tanggal dan bulan kematian beliau berdua memang berdekatan, meski pada tahun yang berbeda.

Ah, betapa hubungan batin ini luar biasa. Saya kembali mengingat, amanah apa yang belum saya tunaikan. Yang terberat ialah membangun tempat mengaji.

Lima tahun lalu, karena mimpi bertubi, akhirnya saya “terpaksa” membangun sebuah asrama yang menampung murid SMP dan SMA Global Madani lelaki. Terutama yang jauh dari rumah. Ma’had Al Ghozaly. Atas saran beberapa guru kyai, nama Abah saya sematkan di sana.

Memang tak seperti pondok pesantren pada umumnya dengan kegiatan mengaji yang padat. Hanya ada tahsin Al Quran, tahfidz satu dua juz, ta’lim muta’allim, akhlaqul banin dan satu kitab fiqih. Saya pun hanya bisa berjanji pada diri sendiri untuk mengajar ta’lim sepekan sekali, dan sering saya tak bisa menepati. Maka saya berterima kasih pada para ustadz muda yang mengajar mengaji di sana.

Dan sungguh, semua kebaikan di dalamnya, saya niatkan pahalanya untuk Abah dan Umy. Semua hal baik yang saya lakukan, jika ada pahalanya, semoga bisa saya persembahkan untuk Abah dan Umy, juga untuk kedua mertua saya. Meski saya tahu, ini tak bisa membalas budi baik beliau berdua, secuil pun.

Sebab saya yang sekarang adalah karena air susu Umy, karena keringat Abah, karena didikan penuh sayang dari Umy dan karena ketegasan dalam prinsip yang diajarkan Abah. Saya yang sekarang adalah karena beliau berdua. Ya, kita yang sekarang, apapun adanya, adalah karena kedua orangtua kita.

::

Maka untuk kalian yang masih memiliki dua orangtua, atau salah satunya, jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan berbakti. Surga ada di telapak ibu kita. Surga kita ada di tangan keriput ayah kita.

Sebelum Allah memanggil orangtua sebagai keramat dan jimat hidup, lakukan apapun untuk membuat beliau berdua tersenyum bahagia ya.

::

Dikisahkan seorang anak melaporkan ayahnya sendiri kepada Rasulullah SAW karena ayahnya mengambil dari harta anak. Kemudian didatangkan anak dan ayahnya kepada Rasulullah SAW dan ternyata ayahnya adalah seorang yang tua renta yang berjalan dengan tongkat.

Sang ayah yang telah lanjut usia tersebut berkata, “Dia anakku, dulunya lemah dan aku kuat, dan dia dulunya faqir/miskin dan aku kaya. Dulu aku tidak pernah melarang dia mengambil apapun dari hartaku. Kini aku lemah dan dia kuat, dan aku faqir/miskin sedang dia kaya, tapi dia bakhil (pelit) terhadapku.”

Mendengar hal tersebut maka Rasulullah SAW menangis dan kemudian berkata, “Bahkan sebuah batu atau tanah (keras) pun ketika mendengarnya akan menangis”.

Kemudian Rasulullah mengatakan kepada si anak,
أَنْتَ وَ مَالُكَ لِأَبِيْكَ

“Kamu dan hartamu adalah milik ayahmu.”

Semoga kita dan anak kita termasuk anak yang berbakti pada orangtua. Amin.

  • Bataranila, 28.11. 2019

Keterangan Foto: Abah dan Umy, dua orang pertama tempat saya menjatuhkan cinta. Dan yang mencintai saya tanpa syarat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *