Penulis: Ning Evi Ghozaly
Mudik lebaran lalu, sepekan full bersama anak-anak. Kami bisa mendengarkan cerita mereka tentang apa saja. Taneg.
“Menurut Umi, calon istri yang baik itu yang seperti apa ya?”
Saya pura-pura kaget mendengar pertanyaan anak sulung. Tema pembicaraan ini sudah lama saya tunggu, tapi saya nggak berani memulai.
“Kalau menurut Mas Lavy, maunya yang bagaimana?” saya tanya balik.
“Seperti Umi,” wuih saya melambung.
“Jangan begitu, Nak. Menjadikan siapapun sebagai ukuran standar cari istri, akan membuat Mas Lavy sering mbanding-mbandingin. Emang enak dibanding-bandingkan? Kan nggak boleh tho.”
Adik Dany nimpali, “Udahlah, Mas. Soal jodoh, sebaiknya Mas pasrah aja sama Umi dan Abi. Kayak Adik, nggak usah repot nyari.”
Saya ngakak. Anak ragil ini tahu kalau sudah kami “jodohkan” dengan putri sahabat. Sejak mereka piyik. Awalnya sih main-main, sekarang menjelang serius. Mohon doa ya semoga jadi haha. Tapi kami nggak maksa kok, mereka nanti ya harus saling kenal dulu. Harus sama-sama klik. Kalau sesama orang tua mah sudah cocok sejaaak duluuu kalaaaa… 🎼😅
::
Hari kedua anak sulung di Lampung, 5 Juni 2022. Ba’da subuh, kami ngobrol ngalor ngidul. Tiba-tiba, “Yaudah Um, Mas kayak Adik aja. Pasrah. Umi kan paham sifat dan karakter Mas kayak apa, jadi pasti tahu nggih yang pas gimana.”
Wuih, kali ini saya kaget beneran. Nggak nyangka banget, anak sulung yang kuat megang prinsip, mencintai diri sendiri dan tidak mau rencana hidupnya diintervensi siapapun ini, kok bisa pasrah gitu yak.
“Tapi pesen satu syarat ya Um. Kalau bisa, calon istri Mas yang menguasai banyak bahasa asing.”
“Lah. Mas Lavy mau nyari calon istri atau mau buka lembaga kursus bahasa asing, Nak?”
Dia ngakak, “Iya ya. Kayak mau nikah sama kamus.”
Lalu abinya ngajak ke luar. Sambil duduk santai dan ngopi, mereka ngobrol tentang pasangan hidup, tentang konsep berumah tangga. Wah serius ini. Pembicaraan berat, ala lelaki. Saya mlipir, tapi ya sambil nyari posisi pewe untuk nguping.
::
“Sampai mana pemahaman Mas Lavy tentang kafa’ah, Nak? Seperti apa rumah tangga yang Mas Lavy harapkan nanti. Apa alasan terbesar Mas Lavy menikahi seseorang? Eh Mas Lavy pernah jatuh cinta nggak?” abinya menanggapi dengan pertanyaan. Kami memang pernah “khawatir” karena sampai saat ini dia tidak pernah bercerita tentang perempuan spesial yang dekat gitu. Sahabatnya banyak, tapi tidak ada satu nama pun yang diceritakan berulang dengan wajah berbinar dan tanda-tanda krik-krik.
“Tenang, Mas normal kok. Mas hanya ingin seperti Umi dan Abi, nggak pernah punya sejarah aneh termasuk pacaran,” saya hampir keselek. Memang, saya dan Abinya menikah lewat proses perjodohan. Singkat dan tanpa pendekatan. Tapi…tapi…tapi…saya nggak alim-alim banget. Karena ikut beberapa organisasi, ya tentu banyak teman dan banyak kegiatan. Nggak bisa menghindar dari berbuat satu dua kekonyolan: ikut demo, rapat pulang sore, runtang runtung muteri semua gang kerto-kertoan.
Bejibun lho teman lama saya yang ada di daftar friendlist efbi ini. Sahabat sebangku dan satu sekolah yang nggak pernah putus kontak juga ada di sini. Sejak SD, MTsN sampai PGAN dan IAIN Malang. Mereka tahu aslinya saya bagaimana.
Saya pengin ngaku yang sebenarnya sih pada anak-anak, tapi urung karena keinget ngendikan Gus Baha, “Nggak perlu menceritakan kenakalan masa lalu. Simpen aja semua cerita ndak enak. Menjadi orang tua harus tetap menjaga muru’ah depan anak. Gusti Allah sudah menutupi aibmu, kok malah mau kamu buka sendiri.”
Gubrak 😅🙊
::
“Jadi begitu nggih, Abi. Menikah adalah ibadah terlama, seumur hidup. Maka niat dan tujuan menikah harus benar. Agar langkah-langkah Mas nanti tidak salah.”
Pinteeer, Le. Saya mbatin. Menajamkan telinga.
“Standar kafa’ah sepadan dengan yang dikehendaki Allah itu, ya taqwa. Hubungan baik pada Allah akan melahirkan hubungan baik pada manusia kan, Nak.”
“Jadi, nyari istri ya yang baik. Baik dulu. Baik itu lebih indah dari rupawan, lebih bijak dari pandai, lebih mahal dari kaya dan lebih mulia dari nasab.”
Saya klakep. Itu kan kalimat yang dingendikankan Bunyai Rofiah semalam? Eh iya, suami saya lak nderek nyimak ngaji KGI tho haha. Ngapunten, Nyai. Ijin ngutip nggih.
“Nggih, Abi. Jadi mohon doa agar Mas dapat istri yang baik ya. Tapi sebelum itu, Mas harus menjadi baik dulu. Memantaskan diri untuk menjadi pasangan yang bisa baik bersama-sama. Saling mendukung dan memberi kebaikan pada keluarga,” anak sulung menyimpulkan hasil obrolan sejam.
“Betul, Nak. Kuncinya menjadi baik bersama. Menjadi pasangan bahagia, terus tumbuh dan bermanfaat bagi keluarga. Bermanfaat untuk sesama. Dan ini harus diupayakan. Harus diikhtiarkan.”
“Kalau Mas nggak bisa nyari sendiri, mohon ijin pasrah aja pada Umi ya,” Mas L berharap.
Saya deg-degan menunggu jawaban Abinya.
“Oh boleh. Umi sudah menjadi mak comblang 40 pasangan lho. Semoga bisa mencarikan juga untuk Mas ya.”
Huaaaaaa saya nyaris berteriak. Antara seneng dan seneb. Dapat tugas mencarikan calon istri untuk anak sendiri itu berat, Ferguso 😅🙊
- Bataranila, 05 Juni 2022 –
.
📷 Abi M Haris Sukamto dan Mas L ngobrol di teras belakang. Saya nguping dari bawah tangga.
Comments