IJIN
4 mins read

IJIN

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Dulu, tiap sebelum menerima amanah atau tawaran kegiatan, saya selalu bertanya pada emak. Iya ijin ke emak dulu, karena kalau langsung ke Abah, urusannya panjang. Pake wawancara dan analisa muter dulu haha.

Emak kami meski tak lulus SD, tapi kecerdasannya luar biasa. Ketrampilan berkomunikasinya juga ampuh, hingga selalu berhasil menjembatani kepentingan kami dengan karakter Abah yang thas thes tegas, pendek dan saklek. Alhamdulillah.

Keputusan kedua orang tua terutama Emak, saya yakin sudah melewati banyak pertimbangan dan proses istikharah. Semua hal yang terekam dalam ingatan masa kecil ini, kemudian saya tiru. Ketika besar, setelah menikah dan punya anak.

Ijin dan pamit untuk hal kecil, berlaku borongan. Apalagi untuk jadwal rutin. Berangkat sekolah, mengaji, diba’an atau untuk urusan yang lain. Sebisa mungkin pamit salim sungkem dan minta doa dulu. Tapi kalau pas mau berangkat tidak bertemu, ya ijin pada siapa aja yang ada di rumah. Supaya saya tidak dicari, terutama pas ada sendok ilang haha.

Ribet iya? Sepintas iya. Tapi kebiasaan ini menyenangkan. Ikatan batin menjadi erat. Dapat sering sungkem orang tua. Doa suwuk bisa terlantun lebih dari sekali di kening saya.

Maka ketika kebiasaan ini pun dilakukan anak-anak kami, lalu ada teman-temannya berkomentar, “Repot amat. Nggak merdeka,” mereka menjawab, “Gue yang butuh melakukan itu kok.”

::

Ijin untuk hal yang besar, seperti memilih organisasi dan pekerjaan, memilih kampus dan tempat liburan, untuk anak-anak kami lebih ditujukan untuk diskusi saja. Sebab saya dan Abinya membebaskan. Mau kuliah di kampus mana saja, monggo. Ikut organisasi apa saja, silakan. Bekerja dimana saja, boleh. Dengan komitmen, nggak ninggal sholat dan mengaji.

Tapi tetep saja mereka melakukan hal yang sama, minta ijin pada kami. Saya paham betapa nikmatnya melakukan hal di luar rumah ketika orang terdekat kita ridla. Mungkin itu yang dirasakan anak-anak kami. Maka ya saya dengan senang hati menyambut kebiasaan mereka hingga saat ini. Termasuk ketika ijin ngajar online yang tanpa harus meninggalkan kamar. Lha tapi nabrak jadwal ngajinya di pondok 😅

::

Sebetulnya, saya dan suami nggak kaku-kakuan. Di lisan, kami sepakat nggak harus semuanya ijan ijin. Tapi nyatanya, kesalingan ini sudah nyandu. Tiap mau kemana saja, ya salim dan saling mendoakan.

Saya mau menerima pekerjaan apapun, ya matur dan diskusi. Begitu pun doi. Saya mau beli apa, ya ijin. Meski saya punya duit sendiri, tapi sejak dulu saya nggak bisa belanja tanpa ada yang menemani. Apalagi belanja online, nggak bisa babar blas haha. Ancur ya 😅🙊

Apakah ini membuat saya tidak mandiri? Enggak juga. Kalau kepepet ya bisa.

::

Nah kemarin, saya diminta bertemu wali talqin Suryalaya untuk wilayah Sumatra. Guru kyai ini sebetulnya sudah sejak sebelum pandemi ingin bertemu saya. Berkali-kali urung. Tiga hari lalu saya matur sanggup sowan, eh pas kemarin mau berangkat, mendadak ada undangan dari Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (Hebitren).

Saya terpilih menjadi Pembina Hepitren Lampung, sebuah upaya kerjasama menyejahterakan masyarakat dan pesantren yang diinisiasi oleh Bank Indonesia. Ijin suami, “Monggo, Um. Apapun keputusan hari ini, saya mendukung.”

Saya tak mau menerima amanah jika saya tidak bisa memberi manfaat. Toh prinsip manfaat ini tidak terikat pada label atau jabatan tertentu. Andai di satu tempat sudah tidak bisa memberi manfaat, ya sudah. Masih ada tempat lain.

Karena ragu, saya tilpun dua guru saya, “Monggo yang penting manfaati. Silakan, insyaAllah aktif di sana ada manfaatnya.”

Suami yang ikut mendengar tilp, tersenyum mengangguk. Baiklah. Saya putuskan menerima amanah di Hebitren dengan catatan saya mampu menerima jobdisk yang diberikan. Tapi saya ijin tidak ikut pelantikan karena sudah terlanjur menyanggupi sowan ke guru kyai. Meski akhirnya, amanah yang diberikan guru kyai, belum bisa saya jawab hingga hari ini.

::

Siang, saya mendapat jadwal zoom bersama Gus Adib Mahrus dan Ning Alissa Wahid. Ijin ini sudah lama diberikan suami, sejak 2019, langsung di depan Gus Adib Mahrus. Apalagi pekan lalu Ning Alissa Wahid sendiri yang menghubungi saya.

Meski saya minder melihat nama-nama Instruktur Nasional yang ada di layar, tapi bismillah. Niat ngangsu kawruh, semoga manfaat dan barakah.

Jadi begitulah. Dalam sehari ada 3 amanah baru. Satu mantap oke, yang satu ada catatan. Dan satu lagi belum saya putuskan menerima.

Ijin ini berwarna. Meski syaratnya sama, asal memberi manfaat.

  • Bataranila, 10 September 2021 –

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *