Penulis: Ning Evi Ghozaly
Bapak dan emak saya dulu jadi jujugan orang curhat dan nanya banyak hal. Dari mulai pilihan hari nikah, minta nama bayi, wadul soal hutang, sakit yang menahun hingga masalah rumah tangga. Ketika ambu-ambu curhatable ini mulai nurun ke beberapa anaknya, beliau wanti-wanti beberapa hal. Salah satunya, “Jangan pernah memberikan komentar apapun jika ada yang curhat tentang konflik dengan pasangan atau saudara.”
Bertahun-tahun saya menaatinya. Alhamdulillah aman. Kalau ada yang curhat, paling banter saya menyimak dan menunjukkan empati dengan bahasa tubuh lalu mendoakan yang terbaik. Sudah.
Eh tahun lalu, dua kali saya melanggarnya. Seorang adik ipar yang curhat tentang kakak iparnya saat ada perselisihan dingin. Entah kenapa, pas itu saya komen. Kalimat umum saja sebetulnya, netral. Tapi mungkin ada tanggapan tambahan. Saya lupa sih. Yang jelas nggak mungkin lah saya intervensi.
Tiba-tiba saja ditilp sang adik dan dituduh dengan ndlujur, “Umik, saya sudah tahu semua. Ternyata Umik yang bikin kakak marah pada saya…” Lho, lho. Kok jadi saya yang salah. Tapi saya nggak berniat tabayyun sih, biarin aja.
::
Kasus kedua. Seorang istri curhat ke rumah. Sekali, dua kali, tiga kali. Pernah juga ajak suaminya. Lah ini mah sudah bukan curhat, tapi ngajak saya masuk dalam konfliknya. Saya mlipir, menjauh. Datang lagi, dan lagi. Ngapunten ya, saya tahu batas kok. Jadi ya menghindar. Suami saya yang malah nggak tega, selalu minta saya bukain pintu kalau dia datang.
Singkat cerita, mereka cerai. Saya donk yang disalahkah. Katanya gara-gara saya, si istri milih cerai. Saya masih sabar. Masih mau menyimak curhatnya, kadang saya sok kasih motivasi gitu. Namanya sahabat, pasti ikut sedih liat dia sedih. Jangan sampai dia patah.
Pernah minta dicarikan jodoh, eh pas udah dapet mau dikenalin ternyata dia milih balikan dengan suaminya. Beberapa hari setelah usai masa iddah, mereka rujuk beneran. Sempat ada drama menjelang akad kedua mereka, nah saya pula yang disalahkan. Jian mbuh kuadrat. Kali ini saya memilih memblokirnya. Cukup, wassalam.
::
Saya kapok, banget. Angkat bendera putih pokoknya. Nyerah aja. Pesan ini juga saya sampaikan ke anak-anak yang mulai sering jadi tempat curhat. Jika ada yang mau cerita tentang konflik dengan pasangan atau keluarga, menghindarlah. Kalau terpaksa harus mendengarkan, jangan berkomentar. Karena saat mereka rukun lagi nanti, kita yang disalahkan. Inga’ inga’, cling.
.
📷 Akhirnya dapat sarapan dengan sayur selada air, setelah sekian lama nyidam. Terima kasih, Ms. Nina Ginasari. Suweger, krenyes-krenyes ❤️
Comments