KAMU MEMANG BENAR
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Suatu hari di sebuah forum, pada salah satu kota di Indonesia. Usai berbagi dan diskusi tentang materi Perspektif Keadilan dan Kesetaraan dalam Bimbingan Perkawinan, seorang peserta angkat tangan, “Saya tidak sepakat dengan penerapan konsep mubadalah (kesalingan) dalam rumah tangga ini. Lelaki tetap sebagai pemimpin dan harus punya wibawa, harus memiliki kuasa. Memutuskan visi keluarga seperti apa, mau tinggal dan menetap dimana, anak sekolah kemana dan lainnya. Contoh lain, kecil nih. Istri saya menjemur kasur di halaman dan saya sedang di dalam rumah. Setelah menjemur kasur, istri pergi ke pasar. Tiba-tiba hujan. Gitu tuh, saya nggak akan keluar ngangkat kasur. Adat kami melarang. Ini soal harga diri. Bukankah arrijalu qowwamuna alannisa…”
Saya tersenyum, meski deg-degan. Mencoba menjelaskan tentang tafsir ‘rijal’ dan ‘qowwam.” Sebisa saya, sebagaimana yang pernah saya baca dan saya simak dari para kyai. Tapi mungkin penyampaian saya kemeruh, pilihan kata saya kemenyek. Jadilah bapak tersebut angkat tangan lagi, berargumen lagi, dengan menyitir ayat dan hadis lagi. Melebar, meluas. Saya pun seperempat panik dan makin pucat haha.
::
Kemarin. Sesi saya selesai, lalu saya mendampingi seorang sahabat instruktur menyampaikan materi Psychologi Keluarga. Ndilalah nyrempet tentang mubadalah lagi, ada bapak peserta angkat tangan. Protes. Maklum ya, di banyak daerah, materi kesalingan ini masih dalam zona merah. Sensitif banget. Sebagian menganggap lelaki tetap harus dirajakan, sementara dengan konsep kesalingan ‘tak ada yang boleh’ dominan.
Suami istri harus saling membaikkan, saling membahagiakan, saling menumbuhkan. Kalau istri sedang ruwepot, sakit atau abis melahirkan, nggak papa kan suami pegang sapu, membantu memasak atau membereskan urusan rumah? Tanpa menunggu diminta, dengan senang aja.
“Jadi Ibu, bagaimana pun lelaki tetap imam. Kalau suami melarang istri bekerja, ya istri harus manut. Termasuk dalam menyelesaikan urusan domestik. Arrijalu…”
Nah, nah. Syukurnya, kelas kali ini tuh nice banget. Dinamikanya kereeen, disiplin dan kesantunan terjaga. Untungnya juga, ada satu dua pendapat kontra dari peserta lain. Jadi imbang, kami berdua tinggal menyimak saja. Lho tapi kok, makin lama perdebatan makin seru. Terutama dari tim yang pokoknya istri harus taat.
“Terakhir, silakan Bu Evi berkomentar…,” makbedundug microphone sudah disodorkan ke saya. Karena sudah ngalami dirujak peserta, sekarang saya bisa lebih santai. Nggak berambisi mengkonter. Kalem aja haha.
“Terima kasih. Ini kebetulan semua peserta bapak-bapak ya. Tokoh masyarakat semua, khatib dan penceramah yang hebat semua. Empat puluh orang. Sebagian besar berpendapat demikian. Lhaaa kami pemateri hanya dua, perempuan lagi. Lalu kami harus bagaimana? Terserah Bapak-bapak sajalah maunya apa, monggo kami manut. Pokoknya Bapak benar deh…”
Geeeerrr. Semua tertawa. Tepuk tangan. Setelah itu suasana kembali mencair, riang. Diskusi gayeng. Enak. Materi pun tuntas, pesan tersampaikan. Alhamdulillah.
::
Saya jadi inget maqolah ini,
لا تناقش من يريد أن يظهرك مخطئاً ،
قل له أنت على حق وتنتهي الحكاية
Jangan mendebat orang yang ingin memposisikan kamu sebagai orang yang salah. Cukup katakan, “Kamu yang benar,” dan cerita berakhir.
Ini juga saya praktikkan dalam berinteraksi di dunia maya. Terutama menjelang pilpres. Ncen saya penakut kok 😅
.
- Hotel Alvia, 24-27 Agustus 2023 –
.
📷 Munyer muter aja, “Jangan-jangan dulu. Janganlah diganggu…🎼