JANGAN SAMPAI KEBAIKAN MENJADI MASALAH
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Beberapa bulan lalu, salah satu teman di WAG membicarakan tentang hukum berhutang di bank, sambil mengunggah video ceramah seorang Ust kondang. Saya jarang komen sih di group ini, tapi karena selow ya ikutan nimbrung.
“Saya orang awam. Tentang riba-riba gitu, saya nderek ulama yang paham problem ummat di bawah saja.”
Paginya, di WAG lain rame membahas foto mengaji bersama di sebuah tempat pada salah satu kota. Banyak orang duduk berderet membaca Al Quran, serentak. Banyak yang memberikan emot kagum atau memberikan pujian. Lalu ada yang mulai memberikan tanggapan, “Itu mengaji di tempat umum lho, jelas bisa dilihat. Di sepanjang trotoar cetho welo-welo. Kok ada sih yang tidak ikutan mengaji dan tetap santai bekerja gitu. Dosa lho…”
Saya telat membaca keramaian itu, tapi saya sangat tertarik dengan komen terakhir. Apa benar yang tidak ikutan mengaji di trotoar dapat dosa? Saya nggak bisa ndalil, tapi sebagai orang awam saya nderek apa yang disampaikan Gus Baha’ dalam salah satu pengajian.
::
Nuwun sewu ya, saya tuliskan ulang ngendikan Gus Baha di sini. Karena sebagian menggunakan Bahasa Jawa, jadi kalau ada terjemahan yang kurang pas, saya mohon maaf nggih. Gus Baha ngendikan,
“Suatu saat Nabi Muhammad mengajar di teras masjid. Di tengah pengajian, ada seorang pemuda lewat membawa cangkul (alat bertani). Dia berjalan dengan cuek.
Spontan ada sahabat yang dengan ekstrim mengomentari, “Sial betul pemuda itu. Ada Nabi mengaji, dia lewat saja tidak ikut mengaji. Celakalah dia.”
‘Mendengar komentar tersebut, Nabi Muhammad menimpali, “Laa taquulu haakadza. Kamu jangan berbicara demikian. Bisa saja dia bekerja untuk iffah supaya tidak meminta-minta. Itu sunnah saya. Atau bekerja untuk keluarganya dan ibunya. Itu juga sunnah saya. Dan Allah mencintai orang yang bekerja.”
“Artinya, Nabi membenarkan sikap pemuda yang lewat saja untuk tujuan bekerja, mencari nafkah. Tidak ikut mengaji.”
Gus Baha melanjutkan, “Jadi ini peringatan untuk para kyai yang mengaji siang hari pada jam kerja. Ini Nabi lho yang mengaji, membenarkan pemuda dadah lewat nggak ikut mengaji. Nabi, bukan hanya kyai.”
“Makanya saya sering bercanda merasa menjadi kyai yang sukses, karena orang yang mengaji saya puji yang tidak mengaji juga saya puji.”
“Setelah itu saya nasehati dengan guyon, yang bener ya yang tidak mengaji itu. Lha kyai kan mengaji mengajarkan jamaah agar memperlakukan anak dan ibunya dengan baik. Yang sedang tidak mengaji itu, bisa jadi sudah dan sedang mengerjakan ajaran berbuat baik pada keluarganya. Sedang ngajak anak-anaknya makan bakso, misalnya. Sementara yang sedang mengaji, baru mendengarkan saja, belum mengaplikasikan haha.”
Kok begitu, Gus?
“Ya supaya kita legowo. Umat kita beragam. Maka jadi kyai harus bijak. Kyai itu penyangga umat. Kalau mau bikin kajian, ya jangan saat orang bekerja. Jangan sampai orang-orang berpikir bahwa Islam itu hadir sebagai masalah. Jangan sampai kebaikan menjadi problem.”
Jadi begitulah. Ngendikan Gus Baha dan para guru bijak selalu adem ya. Beragama memang harus menggembirakan. Alhamdulillah. Semoga Ahad berkah untuk panjenengan semua. Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad.
::
Catatan: Ini tulisan lama, untuk rubrik Risalah Cinta Evi Ghozaly. Saya beranikan posting di sini setelah membaca status Mas Iqbal Aji Daryono yang rame semalam. Saya jangan dimarah ya, Gaes. Nanti saya nangis lho 😅
.
- Rajabasa, 08 Juli 2022 –
📷 Ketika saya sowan Gus Baha, diantar Ning Ria dan Ning Ina, empat tahun lalu. Matur nuwun ❤️