KECELAKAAN
Al-Tsaurī, dari beberapa sahabatnya, beliau berkata: “Tiga hal yang merupakan bagian dari kesabaran yaitu engkau tidak membicarakan tentang kepedihanmu, tidak pula tentang musibah yang menimpamu, dan tidak menganggap dirimu suci”
Mungkin kalimat itulah yang seketika saya ingat kemarin, saat mobil kami mengalami kecelakaan. Kondisi jalan depan sekolah Al Kaustar yang krodit, membuat para pengemudi tak stabil menyetir. Kadang lambat merayap, begitu jalanan kosong ngegas keras. Sore pkl 16.40 tiba-tiba makbrug, saya terpental dari kursi. Kepala menatap jok depan yang diduduki adik bungsu saya. Aby yang pegang kemudi, otomatis menginjak rem.
Allah yahfadz, hanya saya yang menjerit. Mobil depan dan Aby minggir. Lalu sekian detik kami terdiam. Schok. Saya lihat seorang bapak turun, wajahnya tegang setengah marah. Spontan saya ingat, Aby -suami saya- adalah pendekar bela diri Kera Sakti. Sebelum kami menikah, dia sudah jadi Koheng, tingkatan tertinggi disana. Meski sepanjang pernikahan saya tak pernah melihatnya marah, tapi saya tahu, saat tertentu tangannya bisa mengepal. Dan ini bahaya. Saya langsung memeluknya dari belakang, “Bismillah. Semua akan baik-baik saja nggih, Ab. Mengalah nggih. Sabar nggih”. Beliau tertawa kecil, ah alangkah indah tawa itu.
Selesai. Mobil diderek ke bengkel. Saya tak kuasa menceritakan semua detail, mengerikan. Dengan tertatih kami sampai rumah. Wudlu, sholat. Membaca yasin bersama, lalu tahlil dan berdoa untuk kedua orang tua. Bisa jadi shadaqah saya kurang hari ini, atau doa untuk kedua orang tua yang terlupa. Allah menegur, bisa jadi.
Setelah itu, saya baru bisa menyandarkan punggung. Baru merasakan sesak yang sangat, trauma yang menekan. Saya menangis terisak. Sedih tiada tara. Sedih, sangat. Sungguh, rasanya saya ingin dipeluk. Setelah reda, saya menghubungi tiga sahabat: orang-orang terkasih yang saya yakin bisa menenangkan, juga mendoakan saya. Ya, hanya pada ketiganya. Bahkan pada keluarga Malangpun saya tak berkabar. Mungkin, ngendikan Al-Tsaurī diatas yang saya ingat.
Ba’da maghrib puluhan WA saya terima. Mungkin berita telah tersebar haha. Semua menanyakan kondisi saya, menghibur, mendoakan dan menawarkan bantuan. Tiga pondok pesantren bahkan mengirimkan video saat para santri sedang mendoakan saya. Saya meraba kepala, pusing yang sangat tiba-tiba melayang entah kemana. Saya tersenyum, lega. Ah betapa banyak cinta untuk saya…??
Kecelakaan. Ya, ini baru kecelakaan mobil, sudah membuat saya demikian terpuruk, meski hanya sekian menit. Lalu, berapa kali saya kecelakaan lisan, berbicara yang melukai orang lain? Berapa kali dalam sehari saya mengalami kecelakaan duga, suudlon dan menyangka buruk entah apa pada orang lain? Mengapa saya tak pernah bersedih untuk itu?
Ba’da subuh ini saya intropeksi, lagi. Lalu mengucap syukur, lagi. Saya menuliskannya untuk Risalah Hati Ning Evi Ghozaly, sebuah rubrik yang disediakan MU untuk saya berbagi isi hati.
Wah pagi ini masih bertabur doa lho. Dari para guru, sahabat, murid dan semua santri lembaga yang saya dampingi. Bahkan dari MU saya dapat video doa lagi. Terima kasih untuk semua ya. Perhatian, doa dan cinta yang tak terhingga untuk saya…sungguh sangat berarti. Terima kasih, terima kasih.
“Tidak ada kesusahan dan kesenangan yang abadi. Begitu pula tidak ada kemiskinan dan kemakmuran yang lestari. Jika engkau memiliki hati yang merasa cukup (qana’ah), niscaya engkau akan sebanding dengan si Raja dunia”. (Al-Imām al-Syāfi’i)
Baiklah. Saya harus bersiap ke kampus ya, rapat senat terbuka telah menunggu. Dan saya, bersiap mengembangkan senyum, melantun syukur, memilin cinta dan bahagia…lalu membagikannya pada siapapun yang saya temui: seperti yang telah saya dapatkan dari panjenengan selama ini.
Salam semangat penuh cinta ?
- Bataranila, 21.09.2019 –