Merajut Hubungan Mahabbah-Ruhaniyyah Antara Bumi Nusantara dan Maroko
6 mins read

Merajut Hubungan Mahabbah-Ruhaniyyah Antara Bumi Nusantara dan Maroko

Oleh: Gus Achmad Alif Saiful Arif, M. Ag.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbenam, tepatnya tanggal 16 Oktober 2024 di Bandara Muhammad V, hati ini serasa berdegup sangat kencang. Antara bahagia—biidznillah wa alhamdulillah dapat meraih beasiswa non-degree kerjasama LPDP dan Kementrian Agama, dan sedih karena sementara waktu harus mengurangi fokus pada amanah pengabdian mengajar di Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah dan Yayasan Pondok Pesantren Miftahul Ulum serta amanah mengabdi dan membina keluarga tercinta; Abuya, Ummi, istri serta anak di kandungnya—saat itu berusia 6 bulan, dan anak tercinta, semoga selalu dalam lindungan dan naungan pertolongan Allah ﷻ.

Namun saya teguhkan hati melalui tarbiyah tahrirun niyyah (menata niat) yang diajarkan langsung oleh KH. Ihya’ Ulumiddin hafidzahullah, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon Malang; dengan niat mencari rida Allah ﷻ, Rasulullah ﷺ, para masyayikh, dan kedua orangtua serta tazkiyyah al-nafsi, menghilangkan kebodohan dalam diri yang masih acap kali kalah melawan nafsunya dan memperluas cakrawala berpikir. Sebagaimana dawuh Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki rahimahullah rahmatal abrar melalui riwayat KHR. Achmad Azaim Ibrahimy hafidzahullah:

من اتسع أفقه قل إنكاره على الناس

“Siapapun yang memeliki cakrawala berpikir luas, ia tidak akan mudah menyalahkan orang lain”

Setelah menyelesaikan seluruh urusan di bandara, kami disambut oleh perwakilan Markaz Inma lil Abhats wa al-Dirasah al-Mustaqbaliyyah Kenitra; Dr. Ahmad Abasrbays dan Abdulilah. Sambutan yang sangat hangat nan penuh senyuman, bahkan kami disuguhi makanan penyambutan seakan kami tamu penting. Lalu di malam hari setelah salat isyak kami disambut dan dengan perjamuan nikmat nan lezat—seakan kami adalah keluarga yang telah lama tak berusua, oleh Prof. Dr. Maryam Ait Ahmad hafidzahallah selaku pimpinan Markaz Inma’, dalam sambutan beliau ada satu kalimat yang sangat melekat di hati:

أهلا وسهلا ومرحبا ببلدكم الثاني

“Selamat datang di negara kalian yang kedua”

Dari sini saya mulai paham bahwa Maroko memiliki ikatan ruhani yang sangat kuat dan dapat dirasakan dari setiap kedermawanan dengan perjamuan hidangan nikmat nan lezat masakan Lalah Zakiyah—kakak kandung beliau, dalam beberapa kesempatan perhatian dari beliau kepada kami seakan kami sudah dianggap anak-anak ideologis beliau. Bahkan saat ada teman kami yang sakit beliau selalu menanyakan keadaannya beberapa kali dan ingin memeriksakannya ke dokter.

Tidak hanya itu saat kami bersua dengan orang-orang penduduk sekitar ketika berjalan kaki berangkat ke Markaz, disambut salam dan sapaan hangat nan ranum disertai senyuman. Bahkan setiap kali berjumpa setidaknya mereka mengucapkan salam. Menurut hemat saya, mereka memeliki tujuan mengamalkan dan mengejawantahkan sunah baginda Nabi Muhammad ﷺ, beliau ﷺ bersabda:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رضي الله عنهما: أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم: أَيُّ الْإِسْلَامِ خَيْرٌ؟ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ ‌السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ. )صحيح البخاري ج 1 ص 13(.

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radliyallah anhuma: bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi “bagaimana islam yang baik?” lalu Nabi menjawab “kamu memberi makan dan mengucapkan salam baik kepada orang yang dikenal ataupun tidak”. HR. Imam Al-Bukhari.

Tak luput sambutan hangat dan penuh tawaduk seluruh dosen yang mengisi di Markaz, baik yang masih seumuran dengan kami ataupun yang lebih sepuh. Saya simpulkan dari seluruh pertemuan awal setiap dosen, mereka acap kali mengatakan:

أهلا وسهلا ومرحبا ببلدكم الثاني بل الأول ونحن ليس في الدراسة والتدريس ولكن التبادل العلمي بيننا

“Selamat datang di Negara kalian yang kedua bahkan yang pertama, kita bukan sedang belajar-mengajar namun kita saling berbagi ilmu”

Mengapa demikian amat kuat ikatan antara dua bangsa ini? Menurut Ummuna Prof.  Maryam—panggilan akrab kami kepada beliau, ikatan mahabbah-ruhaniyyah antara dua bangsa ini muncul berkat jasa Presiden Soekarno yang turut andil dalam mengakui, mengusung dan memperjuangkan kemerdekaan Maroko di hadapan seluruh pemuka-pemuka bangsa kancah internasional. Bahkan nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah jalan, Jalan Soekarno. Letaknya berada di samping kantor pos terbesar di Maroko yang berada di pusat kota Rabat, Maroko. Kantor pos ini berada tepat di tengah pusat kota, tidak jauh dari stasiun kereta Casa Voyager, tempat pemberhentian kereta api dari berbagai kota besar di Maroko seperti Casablanca, Marakesh, dan Tangier.

Menurut Kusnadi El Ghezwa—seorang tour guide berpengalaman di Rabath, Maroko. Ia menjelaskan bahwa hubungan baik ini terbukti dengan diadakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Soekarno berhasil membangunkan kesadaran dan semangat komunitas dunia, termasuk rakyat Maroko, untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Setahun setelah Konferensi tersebut Maroko terbebas dari kolonial Spanyol & Prancis, tepatnya pada 7 April 1956. Dalam kunjungan tersebut Indonesia tercatat sebagai Negara pertama yang melakukan kunjungan Kenegaraan di Ibukota Rabat Maroko dan tercatat sebagai Negara pertama yang mengakui Kemerdekaan Maroko.

Nama Jalan Soekarno sendiri diresmikan pada tahun 1960 oleh Raja Mohammed V (saat ini Raja Mohammed VI) dan dihadiri langsung oleh Soekarno yang saat itu sebagai Presiden RI. Sebelum berubah menjadi Rue Soukarno, nama jalannya adalah Al-Rais Ahmed Soekarno. Atas hubungan baik ini Indonesia juga menganuhgerakan nama “Casablanca” sebagai nama jalan di Jakarta pada tahun 1991.

Tak heran jika Maroko kemudian menyebut Indonesia sebagai Akhun Syaqiq (seakan saudara kandung). Hal itu menunjukkan betapa dekatnya hubungan Indonesia dengan Maroko. Sejak saat itu juga bagi WNI yang berkunjung ke Maroko dibebaskan visa selama 90 hari.

Selain itu, di Negeri Matahari Terbenam ini juga ada masjid bernama Masjid Indonesia, kami dalam beberapa kesempatan berkunjung ke sana. Lokasinya berada di samping Souk Houriya, kawasan Biranzaran Kota Kenitra. Mengutip dari Website resmi Nahdlatul Ulama, NUOnline, bahwa hingga kini, masjid itu masih menjadi pusat pengajaran serta pemberantasan buta huruf dan pengajian bakda salat Maghrib. Di tempat ini pula, pertama kali diadakannya pembukaan kajian kitab-kitab klasik khusus bagi para peserta Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) STAINU Jakarta yang sedang mengikuti Program Kelas Internasional selama setahun di Universitas Ibnu Thufail, Kenitra, akhir pekan kemarin.

Dan berdasarkan keterangan dari Dubes RI untuk Maroko, Bapak Hasrul Azwar yg berusia 70 tahun saat beberapa kali berjumpa dengan ahli al-Maghrib (penduduk Maroko yang memilki ilmu agama mendalam) mereka berkata tentang pesan dan kesan kepada orang-orang Indonesia:

نزل القرآن في الحجاز، وقرئ في المصر، وحفظ في المغرب، وعمل في إندونيسيا وماليزيا.

“Alquran turun di Makkah dan Madinah, dibaca (dengan lantunan indah) di Mesir (banyak Qari’ bersuara merdu dari negeri Kinanah), dihafalkan di Maroko, dan Alquran diamalkan di Indonesia dan Malaysia (karena sopan santun, akhlaqul karimah, dan pengamalan agamanya sangat baik dan toleran)”.

Akhir kata, dari seluruh pengalaman indah ini, semoga hubungan mahabbah-ruhaniyyah antara bumi nusantara dan negeri matahari tebenam, tetap terjalin baik dan semakin baik ke depannya terutama dalam bidang pengembangan pendidikan dan perekonomian bagi kedua bangsa ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *