PEMIMPIN ITU MENEBAR DAMAI
Penulis: Ning Evi Ghozaly
“Apa yang dimaksud dengan Kepemimpinan Profetik, Vie?” suara beliau sangat berwibawa. Grogi saya yang sundul langit mulai menurun. Saya menjawab sebisanya, teoretis banget.
“Iya, singkatnya adalah menjadikan Nabi kita sebagai uswah hasanah ya?”, lalu beliau memaparkan konsep kepemimpinan profetik dengan bahasa yang lebih ringkas dan membumi.
Kyai Profesor, meminjam istilah Abah Dahlan Iskan adalah santri yang kemudian menjadi kyai lebih dulu, sebelum akhirnya menjadi rektor. Ada beberapa di negeri ini yang saya kenal. Salah satunya ialah beliau Kyai Profesor Moh Mukri. Cerdas, bernas, pekerja keras, tapi selalu santun tawadlu. Dan pagi ini beliau menguji disertasi saya.
Sejak memimpin IAIN Lampung yang kemudian menjadi UIN Raden Intan Lampung, banyak hal besar telah dilakukan. Perbaikan sistem, pembangunan fisik, sampai kerapian dan kebersihan lingkungan. Saya yang menjadi warga Lampung dari tahun 2006, baru memasuki wilayah kampus ini saat mengawal Rektor dan Wakil Rektor UIN Malang serta beberapa sahabat dalam acara AICIS 4 tahun lalu. Saya juga sempat mendampingi Dik Hadi Rahman dalam kunjungannya sebagai staf khusus Menteri Agama.
::
Kaget luar biasa. Luas, bersih, nyaman, hijau. Ada masjid megah yang sedang dibangun dengan daya tampung 5000 jamaah. Tepat di sampingnya ada danau dengan banyak ikan dan pohon rindang di samping kanan kiri.
Sowan saya selanjutnya ke ruang Kyai Profesor ini ialah ketika mengantar Bpk. Joko Umar Said yang saat itu baru saja purnatugas sebagai Wakil Gubernur Lampung. Setiap kali bertemu Kyai Profesor ini, saya selalu mendengar petuah bijaknya. Pengetahuannya luas, ilmunya dalam, cara bicaranya juga meneduhkan.
Yang membuat saya terhenyak ialah ketika musyawarah KESAN saya jadi tahu, ternyata kami sama-sama alumni Langitan, sebuah pondok pesantren sepuh dengan kyai pengasuh yang mulia Romoyai Abdullah Faqih. Terakhir saya tinggal di kamar J2 tahun 1996 silam, dan Kyai Profesor ini di beberapa angkatan sebelum saya.
Sejak saat itu, tiap kehadiran pengasuh Langitan ke Lampung, kami bersama menyambut. Saya menyaksikan cara beliau khurmat guru kyai dengan ta’zhim yang luar biasa. Sebagai senior kami, beliau mampu memberi contoh konkrit bagaimana menempatkan diri. Bahkan setelah menjadi ketua Tanfidziyah PWNU Lampung, sikap dan cara bicara beliau tetap nyantri.
::
Saat itulah saya punya krenteg, “Mengapa saya tidak ambil S3 di sini saja? Menunggu ijin belajar di Malang lama. Harus bareng dengan kedua anak saya kuliah di sana. Lagi pula, dengan kepemimpinan seperti beliau, UIN Lampung ini pasti memiliki kualitas pembelajaran yang bagus”.
Saya sempat minta pendapat beberapa sahabat. Semua mendukung. Bahkan Gus Imam Syafii sekretaris Ditjen PAIS Kemenag Pusat menyarankan, “Ambil beasiswa saja, Ning. Ada program 5000 doktor”. Saya hanya tersenyum, tak berani mengiyakan. Tak yakin bisa mempertanggungjawabkannya.
Istikharah. Suami dan anak-anak ridlo. Berangkat. Saya daftar cekulah lagi dengan catatan kaki, “Nuwun sewu, Aby. Dalem menika lak murni niat cari ilmu nggih. Tapi, karena dalem sampun berusia senja, mohon ridlo kalau seandainya tertatih dan atau bahkan tidak bisa lulus nggih”.
::
Alhamdulillah. Ternyata sampai juga pada tahap disertasi. Meski tentu melewati banyak drama. Bahkan dua hari sebelum ujian kualifikasi hari ini, saya terpaksa menghabiskan dua ampul infus di IGD RS. Urip Sumoharjo. Nggak sampai opname sih, tapi ya sempat membuat semua khawatir. Ampun dah, biasa menguji orang, mau diuji kok ya tepar. Hahahaha ๐
Tapi, sungguh, banyak ilmu yang saya dapatkan dari beliau. Satu hal yang melekat di ingatan saya (dan semoga awet di hati saya) ialah ngendikan beliau, “Pemimpin itu harus jadi uswah hasanah. Jadi role model. Harus jadi teladan. Salah satu indikatornya ialah, di mana pun dia berada, bisa menebar rasa damai. Menjaga hal itu tak mudah ya. Sebab watak manusia itu kemrungsung, apalagi kalau sedang ada masalah. Padahal menjadi pemimpin itu ya harus bisa jadi teladan dalam segala suasana. Dalam suka maupun duka. Maka, tsummas taqim. Istiqomahlah”.
Hening. Saya menyesap dawuh beliau perlahan, mengunyahnya hati-hati.
“Supaya bisa istiqamah, kita perlu memohon pertolongan Allah yang mengenggam ruh kita. Cara termudah ialah dengan membaca shalawat. Coba buktikan, dengan wasilah shalawat ini, insyaAllah masalah apa pun selesai. Shalawat bukan hanya membuat hati kita damai, tapi juga bisa menebar damai pada sekitar kita”.
‘
Saya menyimak ta’zhim. Serasa sedang mendengar kyai mengaji kitab Ihya Ulumuddin. Membayangkan saya lesehan dengan dampar di depan, mensyarah pelahan, duduk di ubin musholla pesantren. Ah, betapa teduhnya. Damai.
Pemimpin. Teladan. Uswah Hasanah. Istiqamah. Sholawat.
Tiba-tiba saya teringat dhawuh Al Ghazaly,
ููุฃูู
ููุง ุงูุณููููุทูุงูู ุงูููุฐููู ูุงู ุณูููุงุณูุฉู ูููู ููููููุณู ูููู ููู ุฃูุนููููู ุงููููุงุณู ุฎูุทูุฑู ูููุงู ู
ูุญููููโฆ.
Terima kasih, Kyai Profesor. Terima kasih untuk telah memimpin kami dengan uswah hasanah. Terima kasih untuk telah menjadi teladan kami. Menjadi pemimpin di hati kami.
- Sukarame, 05 Maret 2020 –
Semoga manfaat dan barokah…