PESAN DARI TAHANAN
Evi Ghozaly
Sebetulnya saya masih suka posting semua hal terkait kenangan di pesantren, entah sampai kapan. Haha, tak peduli ada yang merespon atau tidak. Seneng aja. Mumpung masih suasana Hari Santri Nasional.
Tapi ada selingan dikit nih. Mbuh ini manfaatnya apa. Pokoknya saya mau cerita aja ya.
Jadi suatu hari, seorang sahabat menghubungi saya. Minta agar saya mau bertemu dengan lelaki muda, yang bulan lalu menusuk Syech Ali Jabeer. Saya menolak tegas, “Enggak lah. Nyari kerjaan aja. Tanggungan saya masih sangat banyak. Cari psycholog aja ya.”
Ternyata sahabat saya ini sangat gigih, “Ayolah. Dua pekan lalu Ning Evi sudah berhasil melakukan pendekatan pada 350 santri kami. Hasilnya dahsyat. Mereka mengaku telah melakukan kesalahan apa saja, menyadarkan mereka dan sekaligus membuat mereka menjadi baik. Pasti tak sulit membuat satu orang ini mau terbuka.”
Heh, ya beda donk. Kalau cuma membuat santri lelaki mengaku kecanduan rokok, pernah sembunyi-sembunyi melihat film porno atau pacaran, kayaknya semua orang bisa deh. Kalau untuk membuat penusuk Syech Ali Jabeer menceritakan hal rahasia, ya sulit, Bro.
Besoknya saya ditilp lagi. Gigih bener. Bahkan akhirnya, ketua tim pengacara yang juga CEO sebuah perusahaan besar, ikut-ikutan tilp saya. Berkali-kali, “Saya masih di Bengkulu. Begitu sampai Lampung, orang pertama yang akan saya temui adalah Ning Evi.”
Haduh. Baiklah. Bismillah 😔
::
Begitulah. Kemarin saya ke Poltabes. Dijemput tim pengacara. Sepanjang jalan saya membaca sholawat, menenangkan diri karena agak gupek mikir dua acara yang harus saya selesaikan. Webinar HSN dan Kulwap Parenting. Nggak konsen blas.
“Saya kenalan dulu aja ya, dengan Alfin. Maksimal satu jam aja.” saya menawar.
Kami masuk ruang Kanit Tipiter. Sudah ada 5 orang di dalam. Ada 3 lagi di luar. Saya menunggu sampai Alfin selesai makan. Saya mengamati terus gerak geriknya. Tinggi, kurus. Rambutnya lurus pendek. Kulitnya sawo matang. Wajahnya pucat. Matanya murung, penuh mendung. Terlihat kikuk, mungkin tak nyaman ada banyak orang.
Selesai makan, saya minta agar yang lain keluar. Tinggal saya, Alfin dan dua sahabat.
“Hai, apa kabar Mas Alfin?” saya membuka pembicaraan.
“Baik.” jawabnya. Gugup.
“Santai aja, Nak. Suka main bola?”
“Suka banget.”
“Wah. Berapa gol yang berhasil Mas Alfin cetak dan yang sangat terkesan.”
“Delapan kali, pernah juga menang turnamen.” Wajahnya tiba-tiba sumringah. Matanya berbinar. Dua sahabat saya merekam, tersenyum senang.
“Prestasi apa lagi yang membuat Mas Alfin makin percaya diri dan bangga pada diri sendiri?”
“Nggak ada.” Kembali murung. Saya memberi isyarah agar dia menarik keatas maskernya yang turun.
“Pernah baca novel, Nak?”
“Enggak.”
Bisa menggambar? Bisa, gambar dua gunung ada matahari di tengah. Kami tertawa bersama.
“Bisa memasak?”
“Bisa. Masak nasi goreng. Rasanya enak.”
“Nah. Bisa memasak itu juga prestasi, Nak. Sama dengan nyetak gol. Mas Alfin hebat ih.” Matanya kembali bercahaya. Saya suka melihatnya.
Saya terus bertanya, tentang segala yang menyenangkan. Ya, seseorang yang sedang dalam tahanan dan menunggu persidangan, tentu merasa tertekan. Merasa tidak berharga. Dan mungkin putus asa. Saya harus menggali apa saja yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan bahagianya.
::
“Mas Alfin tahu mengapa sampai di sini, Nak?”
Kami mulai berbincang tentang kasusnya. Panjang.
Apa yang engkau rasakan saat sebelum menusuk Syech Ali Jabeer, Nak? Mengapa engkau bisa punya pikiran untuk menyakiti orang lain? Apa yang ada dalam hatimu ketika berangkat ke masjid membawa pisau dapur, Nak?
Saya tidak bicara tentang salah dan benar. Karena itu bukan tugas saya. Ada tim pengacara yang paham ilmu hukum. Ada penyidik. Ada hakim dan jaksa nanti.
Saya hanya ingin tahu perasaannya. Saya ingin tahu isi hati dan pikirannya. Tak mungkin seseorang tega melukai orang lain tanpa alasan, apalagi orang yang tak dikenalnya. Hanya hati penuh benci dan amarah yang sanggup menusuk orang lain hingga berdarah. Atau, orang yang hatinya penuh luka.
Lalu mengalir cerita tentang duka-duka lama. Tentang kesedihan yang tersimpan dan tak pernah terurai. Tentang bullying yang dialami hampir setiap hari. Tentang penyiksaan. Tentang kekerasan. Tentang luka hati yang terus menganga.
Saya tercekat. Iba memenuhi rongga dada.
::
“Tapi mengapa harus Syech Ali Jabeer, Nak?”
Dia bercerita lagi. Panjang. Beberapa pertanyaan saya ulang, dan jawabannya tak berubah. Konsisten. Maaf, saya tidak bisa menuliskannya di sini.
“Apa harapanmu sekarang, Nak?”
“Saya tahu saya bersalah. Salah saya besar. Tapi hukuman saya bisa diperingan kan, Umi?”
Saya menelan ludah. Saya tahu persis pasal-pasal yang dituduhkan dan ancaman hukumannya. Duh, saya tidak ingin membahas ini.
“Semoga ya, Nak. Minta pada Allah ya. Jika pun harus lama, setidaknya selama di tahanan, engkau bisa menjadi lebih baik. Bisa sholat, Nak?”
“Bisa. Sehari hanya sholat sekali. Maghrib aja. Besok mau nambah sholat Isya, Dhuhur dan Ashar. Subuh belum bisa.”
“Oke. Yuk, tiap usai sholat, berdoa ya, Nak. Berdoa untuk diri sendiri, keluarga dan sahabat.” Tersenyum, dia mengangguk.
“Tiap mau tidur, maafkan semua orang yang pernah berbuat salah padamu, Nak. Termasuk ibu ya.” Dia terdiam. Matanya nanar.
::
“Kami pulang ya. InsyaAllah akan datang lagi nanti. Mau dibawain apa, Mas Alfin? Mau pesan apa?”
“Nggak usah bawa apa-apa. Umi kesini aja lagi ya.”
Saya tersenyum. Ingin mengajaknya toss atau salaman. Tapi urung, kan masa pandemi. Iya, protokol kesehatan melarang kita jabat tangan dan menghapus banyak kebiasaan. Tapi tentu, wabah ini tak boleh meniadakan empati dan kasih sayang. Pada siapapun, meski pada tahanan.
“These pains you feel are messengers. Listen to them.”
~Rumi
– Bandar Lampung, 24 Oktober 2020 –
📷: Diambil dari Google