SEKOLAH ITU BERNAMA KELUARGA
4 mins read

SEKOLAH ITU BERNAMA KELUARGA

Penulis: Ning Evi Ghozaly

Suatu hari di tahun 2011, guru Kimia kami menunjukkan lembar hasil ujian seorang murid kelas sepuluh. Selain rumus dan penjelasan singkat sebagai jawaban soal, kertas dipenuhi gambar ala komik. Pada halaman belakang, tergambar seorang anak membawa pisau terhunus. Di hadapannya, lelaki dewasa tersungkur bersimbah darah. Time is death. Tertanggal dan waktu jelas.

Saya bergidik. Wajah cantik sang guru memucat. Sekian menit kami membisu. Sebelum akhirnya saya putuskan untuk memanggil jagoan ganteng dan cerdas itu.

“Ya, saya ingin membunuh ayah saya, Um. Dengan cara seperti game ini atau film itu,” mata nanarnya seketika berkilat. Lalu, mengalirlah cerita panjangnya. Kesedihan dan luka akibat perlakuan ayah tirinya berujung dendam. Dan cita-cita terbesarnya, membunuh sang ayah.

Berbulan-bulan saya mendampinginya. Menguatkan diri untuk menjadi sahabatnya. Menyimak semua curhat dan membantunya mengelola emosi.

Dua tahun lalu tak sengaja saya bertemu ibunya yang bercerita ananda telah lulus kuliah S1, bekerja di perusahaan besar, dan kabar bahagianya ialah ia telah rukun kompak dengan sang ayah. Alhamdulillah.

::

Sembilan tahun kemudian, tepatnya pekan lalu, saya membaca kisah remaja perempuan 16 tahun yang tega membunuh tetangganya yang berusia 6 tahun. Saya sedih, sangat. Ngilu rasanya.

Terlebih ketika remaja itu seakan tak merasa bersalah. Kepada polisi dia mengaku membunuh karena terinspirasi game dan film yang dia tonton di internet.

Kemudian para pakar mengurai analisis berdasar latar belakang ilmunya. Ada yang mengatakan ini salah satu akibat dari sakit jiwa yang harusnya seumur hidup minum obat tertentu. Ada yang menyalahkan orangtua, guru, sistem pendidikan, hingga memaki pemerintah kita yang tak peduli kasus mengenaskan seperti ini.

Jujur saya bingung. Saya hanya seorang emak yang hingga hari ini kadang tertatih mengasuh kedua anak lelaki kami. Saya hanya sahabat para guru dan murid yang hingga saat ini tak kunjung pintar untuk mendampingi mereka menghadapi berbagai masalah.

Sebagian besar penjelasan para ahli justru membuat saya cemas, khawatir, dan merasa bersalah. Sampai kemudian saya mendengarkan ngendikan Gus Baha’ dalam bahasa Jawa yang kira-kira terjemahnya begini, “Orang yang paling tepat merasa direpoti anak itu ya orangtua”.

Ah, ya. Betapa pentingnya menjadi sahabat untuk anak ya. Menyediakan waktu seluas mungkin untuk membersamai anak. Tanpa jarak, sehingga ayah ibu menjadi orang pertama yang paling dipercaya. Sebelum anak belajar di luar, mereka telah mengaji dan mengkaji berbagai hal dasar di rumah.

Termasuk pertama kali anak mengenal gadget, sebisa mungkin dari rumah. Manfaat, batasan waktu, dan konten, juga dampaknya bisa didiskusikan dengan orangtua. Kapan pertama anak jatuh cinta dan persiapan masa baligh, pertanyaan seputar rokok, dan mimpi basah, hingga film porno dan segala game, kalau bisa terlontar dan terjawab di rumah.

Hingga saat anak mulai keluar dan bersosialisasi, segala nilai baik yang tertanam di rumah akan terus menempel di kepala dan hatinya. Ketika ada pengaruh buruk dari luar, anak tahu saringan mana yang harus dipakai. Mungkin ini yang diistilahkan Pak Harjanto Halim sebagai “mateng wit”, ibarat buah masak di pohon.

::

Saya jadi teringat nasehat yang pernah saya baca entah di buku apa, “Jika engkau tak mau menyediakan waktu untuk mendidik anakmu kala mereka kecil, maka bersiaplah untuk kehilangan sebagian besar waktumu saat mereka beranjak besar”.

Benar. Pendidikan di rumah adalah kunci. Sekolah pertama bagi anak ialah keluarga. Tak harus menjadi sarjana untuk menjadi guru terbaik bagi anak kita. Selama kita berkenan menyediakan waktu untuk mendampingi dengan cinta, bisa menjadi teladan dan terus membaluri anak kita dengan doa, semoga semua akan baik-baik saja.

Ya, doa. Sebab selangkah saja anak kita keluar dari rumah, kita sudah tidak tahu apa yang terjadi. Maka ke mana pun anak kita pergi dan di mana pun anak kita berada, selayaknya kita titipkan mereka pada Yang Maha Menjaga. Semoga taqdirnya baik, nasibnya baik, dan dijauhkan dari segala hal tidak baik. Hingga mereka pulang. Kembali ke rumah. Pada cinta keluarga.

  • MBK, 12.03.2020 –

2 thoughts on “SEKOLAH ITU BERNAMA KELUARGA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *