
Kala Jemari Menjadi Tangan Tuhan
Penulis: Ust. Syukriyanto, S.Pd.I
Banyak karya tulis memukau telah terlahir dari tangan-tangan para penulis handal. Melalui tangan mereka, kita bisa menikmati sepercik samudera ilmu Allah SWT yang tak terbatas. Tertera dalam karya-karya mereka yang lahir semata berkat pencerahan khusus dari-Nya. Seakan-akan tangan mereka menjadi “tangan Tuhan” yang dibimbing oleh-Nya dalam menghasilkan ilmu dan kebenaran. Firman Allah SWT dalam Qs. al-‘Alaq ayat 3-5 secara tersirat menegaskan hal tersebut:
أقرأ وربك الأكرم (3) الذي علم بالقلم (4) علم الإنسان ما لم يعلم (5)
Artinya: (3) Bacalah dan Tuhanmulah yang Mahamulia; (4) Yang mengajar (manusia) dengan pena; (5) Dia mengajar manusia apa yang belum dia ketahui.
Ditegaskan, ada tiga tahapan agar kita mampu mengapresiasi segenap pengetahuan yang kita peroleh. Pertama, gemar membaca. Kata iqra’ pada ayat ketiga mengandung pengertian yang luas dan dalam. Kita tidak hanya diperintah untuk membaca tulisan termaktub, tetapi lebih jauh dituntut untuk mampu membaca skenario penciptaan alam semesta. Merenungi seluruh ayat Allah, baik kauniyah maupun ma’nawiyah, baik sirriyah ataupun jahriyah; kedua aspek memiliki interaksi yang mengandung mutiara hikmah dan muatan pengetahuan yang luas tak berbatas di ujung idlofi Ilahiyah yang sempurna.
Kegemaran merenungkan penciptaan alam semesta niscaya akan mengantarkan kita pada kebenaran Alquran sebagai kalam maujud dari Allah SWT. Manakala direnungkan dan dicermati seksama, kita akan menjumpai keunikan dan seketika menerbitkan kekaguman atas qudrat Allah yang Mahasempurna. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud maka semakin sempurna pula pengetahuan tentang adanya Tuhan karena dengan kalam-Nya manusia terdorong untuk senantiasa menggunakan daya nalar dalam merenungi berbagai ciptaan-Nya.
Ketika kita merenungkan ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa, kita akan mendapatkan pencerahan tentang rahasia kuasa Allah atas makhluk-Nya. Semakin kita larut dalam renungan akan penciptaan alam semesta (makrokosmos), semakin besar potensi kita untuk menjumpai kebenaran Allah yang mengejawantah ada pada diri manusia sebagai alam kecil (mikrokosmos).
Terkait proses perenungan tersebut, menarik menyimak ungkapan bijak yang terdapat dalam risalah “at-Tafakkur fi al-Sirri wa al-‘Alan” (اَلتَّفَكُّرُ فِى السِّرِّ وَالْعَلَنْ) karya KH. Achmad Djazari Marzuqi, Pengasuh I YPP Miftahul Ulum. Beliau mengungkapkan bahwa renungan anbiya’ (para nabi) lebih tinggi derajatnya daripada renungan awliya’ (para wali). Renungan awliya’ lebih tinggi kadarnya ketimbang renungan mu‘minin (orang-orang yang beriman) dan renungan mu‘minin lebih tinggi nilainya daripada pola pikir para filosof (ilmuan), sedangkan pola pikir para filosof lebih tinggi mutunya tinimbang kecenderungan orang awam. Dan di antara renungan Auliya’ ialah tentang kesatuan asal dan tujuan dari penciptaan manusia dan alam semesta yang dalam sufisme Jawa dikenal dengan frase “sangkan paraning dumadi”.
Kedua, gemar menulis. Sering-seringlah memegang pena, suka atau tidak suka. Goreskanlah, lamban laun Anda akan takjub. Ada rahasia yang unik ketika tangan keinsanan kita dibimbing oleh “tangan Tuhan” untuk menorehkan kesejatian ilmu dari sang Maha Sempurna, Allah SWT.
Ketiga, hindari sifat riya’ dan juga sifat sombong. Sifat ilmu dan hikmah itu bersifat lembut dan teramat halus maka hanya jiwa yang lembut dan berbudi pekerti baik yang akan mampu menjadi alat ilahiyah untuk memaparkan rahasia-rahasia keilmuan. Dan kesombongan juga prilaku riya’ sangat potensial menjadi hijab penghalang bagi kita untuk menjadi media ilahiyah itu. Jemari kita pun bakal kehilangan fungsinya menjadi “tangan Tuhan” dalam mengungkap kebenaran lewat tulisan.
Semoga kita semua menjadi orang-orang yang baik, yang mampu beramal sholeh dari jalur karya tulis sehingga nama kita tetap hidup walaupun jazad kita telah sirna. Amin ya rabbal ‘alamin.[]
*Penulis adalah Guru MI Miftahul Ulum.