Penulis: Ning Evi Ghozaly
Dalam beberapa kesempatan saya mengisi kulwap parenting, ada pertanyaan tentang berapa uang saku ideal untuk anak SD sampai SMA? Mohon maaf saya tidak pernah bisa memberikan jawaban pasti, karena pemberian uang saku tergantung banyak hal. Kalau ikut kata ahli keuangan sih, katanya jenjang SD uang saku per hari 10 ribu, SMP-SMA 100 ribu per pekan. Kalau kata saya, sesuai kebutuhan aja asal uangnya ada 😅
Beneran ini, pas kami masih sangat miskin dulu, anak-anak tidak pernah kami beri uang saku. Yang penting, setiap sebelum berangkat sekolah sarapan sehat. Saya selalu menyiapkan bekal sederhana tapi lengkap. Nasi, sayur, lauk, buah, minuman dan snack. Kadang saya lebihin untuk berbagi dengan yang tidak membawa bekal. Sambil saya beri pesan, “Kalau pengin snack atau makanan teman, bilang ya Nak. Besok Umi upayakan membawa bekal yang sama.”
Dengan bahasa anak-anak, kami sering mengajak diskusi tentang butuh tidaknya uang saku ini. Khawatir mereka menganggap kami pelit atau mereka nelangsa mikir kok beda dengan teman-temannya yang kalau istirahat pasti menghambur ke kantin dan balik membawa makanan mahal.
Kelas tiga SD, anak-anak mulai membawa uang saku 3 ribu rupiah. Jaga-jaga kalau butuh tambahan minum. Itu pun tiap hari utuh dan masuk celengan jago. Pernah ding uang habis selama 3 hari berturut-turut karena dipalak temannya, perempuan 😅
Masuk SMP, setiap hari membawa 5 ribu rupiah. Tetep sarapan dan membawa bekal lengkap. Seringnya uang saku utuh.
::
Iya. Mungguh saya, anak-anak perlu diberi pengertian tentang kondisi ekonomi orang tua. Sesekali kita ajak diskusi tentang nilai uang, bukan hanya nominal. Kita ajak merencanakan masa depan dan membuat skala prioritas. Agar anak-anak tidak kecewa jika satu dua keinginan tidak tercapai, tapi tetap mau ikhtiar memperjuangkan harapannya.
“Umi, Mas dan Adik ingin punya harmonika seperti punya Zaki. Harganya 20 ribu, dia beli di Bandung. Di pasar Karang sini mungkin ada ya, Um? Uang kami masih terkumpul 15 ribu,” sejak kecil L & D terbiasa mengajukan “proposal” lengkap kalau ingin sesuatu.
“Oke, yang 5 ribu hadiah dari Umi, Nak. Mau melakukan kebaikan apa hari ini, sayang?”
Maka ketika suatu saat saya memberi uang tanpa sebab, mereka nanya, “Kami tidak melakukan apa-apa, kok diberi uang?”
::
Pekan lalu saya ngobrol dengan salah satu anak Al Ghozaly. Uang sakunya 2,5 juta sebulan. Saya kaget poll. Makan sudah katering dan laundry sudah dibayar awal bulan. Jadi segitu hanya untuk jajan, Nak? Iya. Kalau sudah lulus kuliah dan mulai bekerja nanti, berapa gaji pertama yang kamu harapkan? Saya baru akan bekerja kalau uang bapak saya sudah habis Umi, jawabnya sambil tertawa. Saya yakin itu bukan jawaban serius, tapi tetap membuat saya isykal.
“Berapa harga roti ini, Umi?” tanya salah satu santri PPM. Annida pas saya ke koperasi. Lak kok ya kebetulan yang dipegang roti jualan saya 😅
Eh iya, sudah beberapa bulan ini saya jadi bakul roti. Saya ambil dari pabrik, saya titip ke beberapa sekolah dan pondok pesantren. Keuntungannya sangat lumayan, saya titipkan pada PJ masing-masing koperasi dan saya ambil jika butuh untuk disalurkan pada yang berhak.
“Lima ribu, Nak. Mau?”
“Oh berarti saya baru bisa beli roti ini tiga hari lagi, Umi. Karena uang saku saya hanya 2 ribu sehari,” matanya berbinar, tanpa ada rasa sedih.
Saya yang lungkrah, ketampar. Rumangsamu ini roti paling murah tah Vie, tibaknya ada anak yang harus nunggu 3 hari untuk ngicipi. Jian.
::
Masuk SMA, uang saku anak-anak kami naik jadi 50 ribu tiap pekan. Saat itu keuangan keluarga jauh lebih baik. Kami diskusi, perlu tambah uang saku atau kelebihan hak anak-anak ditabung? Mereka memilih menabung.
“Kami ingin kuliah di kampus X dengan biaya masuk dan UKT segini, Abi Umi. Jika ada lebih, tabungan bisa kami gunakan untuk membeli barang yang kami inginkan atau untuk traveling.”
Oke, baiklah. Jadi tetap bawa bekal setiap hari. Kadang dibully temannya karena dianggap miskin tak pernah jajan, tapi tak jarang ada temannya yang menyampaikan, “Enak ya jadi kamu. Ibumu bawain bekal berbeda terus setiap hari. “
Padahal yang bilang begitu, uang sakunya sepuluh kali lipat anak kami. Sawang sinawang ya. Maka alangkah melambungnya saya, pas lomba mengarang hari ibu Adik Dany menulis,”…dua hal yang selalu terkesan dari pemberian rutin ibuku adalah doa suwuk di keningku dan bekal lengkap di tas sekolahku. Ini hadiah terindah yang akan terus aku kenang sepanjang hidupku.”
Alhamdulillah. Bulan lalu saat libur puasa, Mas Lavy mengirim foto bekal makan yang akan dibawa ke kantor. Masak sendiri di kamar kosan yang hanya 2×2.5 meter. Lha kok ya mirip dengan bekal yang akan saya bawa bekerja.
“Jangan terlalu ngirit, Nak. Kalau pengin gofood silakan lho.”
“Bawa bekal lebih sehat, Um. Uang gaji bisa ditabung juga nggih.”
::
Ternyata, apa yang kita ajarkan sejak kecil pada anak kita, akan terus mengendap dalam memori jangka panjangnya ya. Tak harus membawakan bekal tiap hari, semampunya saja. Tak harus memberi uang saku banyak. Seperlunya saja, sesuai kebutuhan dan seadanya. Yang harus berlimpah adalah cinta dan doa kita untuk anak-anak.
.
- Bataranila, 19 Agustus 2022 –
📷 Atas bekal Mas L dan bawah bekal saya 😅
Comments