![WASIAT](https://i0.wp.com/mifulbengkak.net/wp-content/uploads/2021/12/269822797_7348936988453612_8234369202890507681_n.jpg?fit=960%2C720&ssl=1)
WASIAT
Penulis: Ning Evi Ghozaly
Sungguh ini hanya foto guthe’an, semacam kamar-kamar asrama. Mirip kosan sederhana jaman dulu. Saya tidak pernah pede menyebut sebagai Ma’had apalagi Pondok Pesantren. Wong syarat utama pondok pesantren tidak terpenuhi kok. Tidak ada kyai dan bunyai. Saya? Sekedar orang-orangan sawah yang kalau datang, sebagian anak menyambut girang dan sebagian yang lain menghindar. Lari ke kamar untuk mengambil sapu atau segera buang sampah. Bisa ditebak, yang pede nyapa saya adalah yang kamarnya bersih, sprei rapi dan tak ada baju kotor nglimbruk. Atau mereka yang punya hafalan surah pendek, pengin mendengar dongengan saya dan protes ini itu.
Nama Al Ghozaly diberikan Abah dua bulan sebelum beliau wafat, 2007. Abah ngendikan “Kersa momong lare-lare ngaji nggih, Nak?” Saya menggeleng, minta maaf berkali-kali. Tukang ngluyur seperti saya, mana betah dipatok dan dikrangkeng?
“Nggih mpun, berprofesi apa saja silakan. Yang penting tetep ngajar ya Nduk. Mendidik diri sendiri dan orang terdekat,” sambungnya. Saya ketawa girang. Kalimat ini saya taleni. Mendidik dua anak saya kan sama aja ya. Memberi pelatihan kepala sekolah, pengawas dan guru kan juga ngajar. Sambang mahasiswa Darul Fattah sepekan sekali, juga mendidik kan. Kan? Kan.
::
Tahun 2015. Saya bermimpi ketemu Abah dan Umi. Abah ngendikan begini, Umi memberi isyarah begitu. Besoknya mimpi lagi. Sama persis. Besoknya lagi. Hingga berhari-hari. Sampai saya sumpek poll, notog. Ini apa ya yang dikersa’kan Abah dan Umi. Kok bisa mimpi sama persis sampai sekian malam.
Hari kesekian, bangun tidur saya nggliyeng. Masih mimpi yang persis. Saya nangis nggeru. Tilpun beberapa sahabat Abah termasuk Yai Tholhah Hasan. Saya juga sempat tilp Mbah Nyut Triwibowo Budi Santoso dan Syech Ahmad Kasyful Anwar . Semua ngendikan mirip, “Wasiat Abah dulu apa, Ning?”
“Wasiat Abah begini, berprofesi apa saja silakan, yang penting ngajar,” pede saya tersenyum anggun. Merasa sudah melaksanakan dengan baik. Ehm.
“Bukannya diminta bikin pondok pesantren?”
Wajah saya pias pengin membantah, “Bukan, Yai. Sanes,”
Pokok saya kemeruh dengan yakin tafsiran mimpi itu. Terus mimpi lagi. Sampai akhirnya, saya nyerah. Saya matur adik dan kakak, “Nggih mpun, sampun. Dalem nyerah. Tapi bukan bikin pondok ya. Semacam asrama aja, ada ngajinya dikit. Dan saya tetap boleh ngluyur ya.”
Saya minta diistikharahkan. Bismillah. Mbedhol tabungan jago. Ples, hutang yang mungguh saya sangat besar, meski untuk orang lain mungkin nggak seberapa. Nyicil 6 tahun. Nekad banget. Nawar tanah seuplik, bangun pondasi dan nyusun batu bata pelan-pelan. Iya, pelan-pelaaaan saja
Plaaas. Baru mimpi berhenti. Jian mbuh kok.
::
Sungguh ini hanya guthe’an, semacam kamar asrama. Mirip kos-kosan sederhana jaman dulu.
Jumlahnya juga tidak banyak. Tahun pertama hanya 25 anak. Itupun terjadi drama hawer-hawer lebih dulu dengan beberapa warga. Saya sempat dilaporkan ke dinas perijinan. Disidang di kelurahan. Besok saya dongengin ya, insyaAllah kalau inget. Sereeeem banget ceritanya.
Mpun, pokok ada anak yang diopeni, ada tempat sholat jamaah. Yang penting saya nggak keteror mimpi lagi. Ada ngaji Al Quran dan tahsin grothal grathul. Sesekali saya mbalah ta’lim mutaallim. Ada kitab akhlaqul banin dan kitab fiqh dasar. Alhamdulillah.
Makin tahun makin tambah yang masuk. Satu, dua, tiga. Mulai rame meski belum pernah lebih dari 50 anak. Lalu pandemi. Karena sekolah tidak lagi tatap muka, Al Ghozali ya kosong. Karena isinya memang anak-anak SMP dan SMA yang belajar di Global Madani. Alhamdulillah.
Meski akhir-akhir ini saya lebih sering nyambangi anak-anak, tapi ya tetep peran saya tidak optimal. Syukurlah ada wakil, dua ustadz pembina.
“Pondok kok pengasuhnya outsourching,” ngendikan Gus Achmad Shampton Masduqie saat berkenan mberkahi Al Ghozali beberapa tahun lalu. Memang sanes pondok kok Gus, saya mbatin. Batinan ini sampai sekarang nggak berani saya ucapkan.
Jadi Gaes, dengan semua fakta yang ada, masihkah ada yang mengira Al Ghozali pondok pesantren? Tidak. Jauh, jauuuuuh darinya
::
Sungguh ini hanya foto guthe’an, semacam kamar-kamar asrama. Mirip kosan sederhana jaman dulu.
Tapi betapa bahagia saya jika ada yang berkenan silaturrahim. Sekedar main atau sambang kami. Gus Adib Mahrus, Yai Marzuki Mustamar, Bunyai Wardah Shomitah sekeluarga, Bunyai Halimah sekalian dan beberapa guru sampun berkenan rawuh juga. Beberapa tahun lalu. Memberikan doa dan pesan-pesan luar biasa.
Dan esok, selain para kyai dari Malang, Surabaya dan Tulungagung, insyaAllah saya akan kerawuhan Nyai Nur Rofiah . Juga sang guru para SO Ghazalian College Gus Ulil Abshar Abdalla, Ning Ienas Tsuroiya. Sore tadi ada kabar dari putra putri KH. Hasyim Muzadi, “InsyaAllah akan hadir utusan dan alumni Pengurus Cabang Istimewa NU Sudan, Syiria, Libanon, Mesir, Saudi, Jordania, Jepang dan UK. Mohon Al Ghozali berkenan menerima.”
Saya bukan panitia muktamar. Tapi luar biasa, teman dan sahabat juga mulai menghubungi lewat WA. Yai Prof. Agus Zainal Arifin, Ning dan Bunyai dari beberapa propinsi, “Semoga bisa ketemuan ya, Ning Evi.”
Saya ndlongop. Hadza min fadli rabbi. Bahagia, bingung, kaget. Campur aduk. Betapa selama ini saya harus meluangkan waktu dan segalanya untuk silaturrahim pada para sahabat atau sowan para murabbi ruh yang mulia. Dan sekarang, Allah mengirimkan beliau semua untuk saya? Ya Allah, maturnuwun Gusti.
.
– Bataranila, 20 Desember 2021 –
.
Guthe’an di Al Ghozali, hanya semacam asrama atau kamar kosan sederhana. Saja.