
Ma’rifatullah, Pangkal Kesempurnaan Hidup
Penulis: Ust. Syukriyanto, S.Pd.I*)
Dalam sebuah kesempatan yang hening, saya pernah mendadak mendengar suara jiwa yang lamat-lamat berucap:
لَا يَكْمَلُ حَيَاةُ الْمَرْءِ فِي هٰذِهِ الْحَيَاةِ الدُّ نْيَا إِلَّا هُوَ يَعْرِفُ بِا اللهِ
“Tidak sempurna kehidupan seseorang di dunia ini kecuali dia mengenal Allah” (1-3-2003 M/22-01-1423 H).
Kalimat tersebut muncul ketika penulis dalam perjalanan mengajar para santri Madrasah Diniyah di Pesantren Nurul Hidayah, asuhan Kiai Sholeh, seorang kiai yang terbilang gigih dalam memperjuangkan pendidikan agama di Desa Bangsring khususnya.
Sewaktu saya mendengar wejangan tersebut, ludah yang saya telan terasa pahit. Timbul tanda tanya besar dalam benak, ”Mungkinkah saya dapat mengenal Allah?” sedangkan saya bukan anak turun seorang ulama besar. Pemikiran saya kala itu amat kerdil, merasa pesimis karena mereka yang memiliki kualitas seorang wali umumnya berasal dari kalangan para kiai atau ulama yang masyhur.
Saat suasana hati dan pikiran penulis kacau, spontan saja ada suara yang muncul di kedalaman jiwa yang bertutur, ”Kenapa tidak? Kamu juga bisa asal kamu punya keinginan, maka apa yang kamu inginkan pasti tercapai”. Setelah mendengar itu, hati saya menjadi tenang.
Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan “Mengenal Allah”? Kalimat ini tersebut dalam sebuah hadits:
اَوَّلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ
”Permulaan agama ialah mengenal Allah”.
Jadi, agama terbangun atas dasar ma’rifat. Islam ibarat badan bagi agama. Ia berhias hidup dengan ma’rifat. Iman tegak kokoh berjiwa ma’rifat. Ihsan mekar indah beriring ma’rifat. Keislaman seseorang ditentukan oleh pengenalannya terhadap Allah SWT.
Diungkapkan dalam sebuah pepatah, ”tak kenal maka tak sayang”, maksudnya bahwa adanya perasaan kasih sayang tidak serta merta menjadi sebuah kehidupan tanpa melalui jalur pengenalan yang signifikan. Kedekatan perasaan itu dapat timbul manakala ada titik terang dalam syuhud kita. Pengenalan kita terhadap Allah tidak akan berbuah manis tanpa melalui jalur tergelarnya iman sebagai penopang keutuhan spiritualitas keislaman.
Selanjutnya, Iman akan bermakna lezat dalam penerapannya seiring dengan Ihsan. Dan Ihsan tidak akan komplit tanpa berpayung pada panji bendera tauhid. Maka gaungnya agama dikenal dengan tunbuhnya Islam, tersedianya pupuk iman yang mapan, dan mekarnya ihsan yang berteduh syahdu dibawah naungan langit tauhid. Disebutkan dalam sebuah ayat :
مِثْلُهَا ثَابِتٌ فِي الْأَرْضِ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِيْ آُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ
“Perumpamaan kalimat (yang baik, jiwa yang diberkati) seperti akar pohon yang mengakar di bumi dan cabangnya (bergayut) di langit yang (buah keberkahannya ) dapat dinikmati setiap saat”.
Pengenalan kepada Allah dimulai sejak masuknya ruh ilahiyah ke dalam janin yang berada pada alam rahim seorang ibu. Bibit-bibit kema’rifatan akan terserap dengan baik oleh jiwa mereka yang bersih. Kebaikan orang tua dan nuansa alam sekitar akan turut andil dalam pembentukan karakter jiwa anak selama pertapaannya di alam rahim.
Pembentukan awal itu kemudian terbungkus rapi ketika anak lahir dan dikumandangkan adzan pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kirinya. Hal itu bertujuan agar penanaman konsep ma’rifatullah memayungi perjalanan hidupnya. Nuansa adzan dan spirit iqamah harus tetap dijaga dan dilestarikan agar ruh tauhid berfungsi dengan maksimal.
Anak yang tertanam benih-benih agama akan mudah tergerak hati nuraninya manakala mendengar keagungan Allah SWT. Ikatan batin dari kalimat adzan dan iqamah sangat berguna untuk menjaga eksistensi kemurnian fithrah sang anak. Dengan itu ia akan mendapatkan kesempurnaan hidup. Kesungguhan menjaga kefithrahan amat perlu untuk terus diperkuat karena ada sebuah ungkapan bijak ”Bagaimana mungkin kita bisa menjaga kehidupan sedangkan menjaga diri sendiri tidak mampu?”.
Sejatinya tiada orang yang bisa menempati kesempurnaan secara menyeluruh. Kesempurnaan itu tersimpan di dalam niat awal. Niat adalah akar tunggal yang menjadi perwakilan hidup dalam wujud yang esa. Niat yang benar akan melahirkan gerak-gerik hidup yang benar. Begitu pula sebaliknya, jika niat disalahgunakan dan berselisih jalan dengan ketetapan Allah, maka niat yang berhulu pada kesucian menjadi ternoda.
Noda-noda dosa atas penyalahgunaan niat yang terus dilakukan akan memadati wilayah niat sehingga hakikat niat tertirai dan kebenaran ilahi terhalang dan selamanya menjadi misteri. Hal ini akan berakibat buruk bagi keberlangsungan kesucian niat asal. Dan niat yang sudah ternoda akan menyebabkan timbulnya perilaku-perilaku amoral yang bisa berdampak buruk terhadap kelestarian kehidupan. Lingkungan akan kehilangan keasriannya bila di sekitar lingkungan tersebut terdapat orang-orang yang berhati busuk oleh sebab niat yang tak tertata dengan baik lagi benar.
Itulah mengapa mengawali niat yang baik menjadi amat penting. Terlebih penting lagi ialah mengokohkan kemampuan untuk bisa menjadi wasilah bagi lahirnya kebaikan dalam kesempurnaan.*) Penulis adalah Guru MADIN dan MI Miftahul Ulum.